Ada hal-hal yang tidak mungkin kau lewatkan bersama
seseorang tanpa kau menjadi dekat dengannya. Dikejar anjing tetangga adalah
salah satu contohnya. Dan Arista mengalaminya sendiri. Kalau saja bukan karena
Abiyoso yang datang dan melempari anjing itu dengan batu, anjing itu tidak akan
terkecoh dan Arista tidak akan sempat memanjat pohon. Jika juga bukan karena
Abi menggendongnya dan membantunya memanjat pohon, Aris tidak akan selamat dari
pengejaran itu. Sejak itu Aris selalu merasa bahwa Abi adalah pahlawan
penyelamatnya. Itu mengapa Aris jadi sering mengikuti Abi kemanapun bocah
lelaki itu pergi.
Dan ada hal-hal yang sulit hilang dari ingatan,
terutama jika ingatan itu didapatkan saat masih kecil. Itulah mengapa sejak
kejadian dikejar anjing itu, Arista tidak pernah bisa melupakan Abiyoso.
Bagaimana pula caranya Aris bisa melupakan Abi jika setiap hari mereka bertemu
di sekolah?
* * *
Kalau saja Aris bisa membalikkan waktu, dia memilih
untuk tidak pernah menjadi sahabat Abi. Menjadi sahabat berarti memiliki
keistimewaan di hati sahabatnya. Tapi di sisi lain, sahabat adalah sahabat.
Selamanya akan seperti itu. Padahal Aris tidak ingin menjadi sahabat Abi. Dia
menyukai pemuda itu, sebagai seorang gadis.
Betapa sakit hatinya ketika harus mendengar Abi
mengeluh tentang gadis-gadis yang mendekatinya. Dan lebih sakit lagi ketika Abi
mengatakan bahwa Abi menyukai salah satu
diantara gadis-gadis itu. Tapi semua itu belum seberapa sakitnya dibandingkan
perkataan Abi beberapa hari lalu ketika beberapa teman menggosipkan mereka
berpacaran.
”Gue? Pacaran sama Aris?” Abi terkekeh di
tengah-tengah gerombolan cowok-cewek berseragam putih-abu-abu itu. Lalu Abi
melingkarkan lengannya di pundak Aris dengan santai. Aris tersenyum kikuk,
mencoba santai, meski hatinya berdegup tidak beraturan. ”Kita mah sahabatan banget
ya, Ris? Pada gosip aja lu!”
Orang bilang, itu rasanya seperti disambar gledek di
siang hari bolong. Tapi bagi Aris, rasanya lebih seperti semua isi perutnya
disedot keluar. Hipoglikemi mendadak. Dia merasa pusing dan mual.
“Jangan gosip aneh-aneh deh. Menurunkan pasaran dan daya jual gue dan Abi
aja. Kalau ada yang naksir gue atau Abi, mereka bakal mundur nih gara-gara
gosip kalian,” Aris balas tertawa.
Itulah yang disebut bibir tertawa selagi hati
mati rasa.
Nelangsa adalah ketika orang yang
kita cintai justru berusaha menjodohkan kita dengan orang lain. Dan orang lain
itu adalah sahabatnya sendiri.
Arista selalu tahu bahwa Abi adalah manusia cerdas luar biasa. Tapi
ternyata kecerdasan-intelegensia Abi tidak sebanding dengan
kecerdasan-perasaannya. Entah berapa ratus kali tepatnya Aris sudah mencoba
membuat Abi menyadari bahwa Aris mencintainya. Tapi hasil dari semua usaha itu
justru berakhir pada proyek-perjodohan Abi. Saat mendengar bahwa Abi berniat
menjodohkannya dengan Angga, sahabat Abi di klub sains, Arista rasanya ingin
menggeplak kepala Abi saat itu juga.
“Angga bilang dia naksir lu, Ris,” kata Abi ketika mereka sedang
mengerjakan PR bersama di suatu sore yang tidak begitu cerah.
“Trus?” Aris menanggapi dengan acuh. Dia masih fokus pada
stoikiometrinya.
“Gue jodohin ya Ris!”
Aris mulai tidak fokus pada perhitungan reaksi asam-basanya.
“Mau ya Ris, gue jodohin sama Angga?”
Abi makin annoying.
“Lu dibayar berapa sama si Angga?” tanya Aris sinis.
“Emang gue cowok bayaran?”
“Dia minta lu nyomblangin?”
“Kagak.”
“Jadi ngapain lu nyomblangin?”
“Abis kalian kelihatan cocok.”
Aris benar-benar meninggalkan hitungan stoikiometrinya.
“Jadi?” tanya Aris makin sinis.
“Mau ya gue comblangin sama Angga?”
Aris menatap mata Abi. Mencari sedikit celah disana. Semua orang pasti
berusaha mencari kejujuran dari mata lawan bicaranya. Tapi Arista sebaliknya.
Dia berharap ada kebohongan disana. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Dan dia
kecewa karenanya.
“Terserah lu aja deh.”
Arista menutup bukunya. Menyambar semua alat tulisnya dalam waktu
sekejap, lalu bangkit dari duduk bersilanya.
“Eh, ngapain lu Ris? Emang udah selesai PR kimianya?”
Tanpa menjawab, Aris ngeloyor pergi begitu saja meninggalkan rumah Abi.
Dia merasa itulah jalan terbaik yang dapat diambilnya, daripada nanti dia malah
mengamuk di rumah Abi lantaran kesal setengah mati.
Abi itu tolol maksimal, maki Aris dalam hati.
Super Nelangsa adalah makan bersama gebetan ... dan orang yang
dijodohkan ke kita oleh si gebetan.
Dan kadang satu ketololan akan diikuti dengan ketololan lain yang lebih
menyebalkan. Dan kalau kau punya teman yang tolol, lakukan hal yang bagus untuk mengubahnya menjadi pintar
dengan cara apapun. Pertama,
nasihati baik-baik. Kedua—jika dia pura-pura tuli—tonjok saja mukanya. Tapi bagaimana kalau orang tolol itu bukan sekedar
temanmu, melainkan orang yang kau cintai? Kau akan mengalami dilema akut antara
ingin menciumnya atau membunuhnya.
Hal
itulah yang dirasakan Aris saat Abi mengajaknya makan malam di suatu restoran
beraura romantis, dan tiba-tiba di tengah-tengah keromantisan itu Angga datang.
Lalu dengan wajah tak berdosa, Abi mengaku bahwa dia memang sengaja
mempertemukan Angga dengan Aris.
Saat
itu juga Aris mendapat fakta baru. Pertama, bahwa Abi ternyata serius
menjodohkannya dengan Angga. Kedua, dan dengan fakta pertama itu, jelaslah
bahwa Abi tidak mencintainya, karena jika Abi sedikit saja mencintainya maka
lelaki itu tidak akan memberikannya
untuk lelaki lain.
Menyadari
kedua fakta itu, akhirnya setelah 5 tahun terus mencintai Abi dalam diam, Aris
menyerah. Dia merasa sudah waktunya menghadapi kenyataan. Dan itulah
kenyataannya: Abi tidak pernah mencintainya.
Mega Nelangsa adalah sok jodohin orang yang
kita suka ke orang lain, padahal dalam hati gondok banget.
Dan
ternyata ketololan adalah penyakit menular. Angga ternyata sama tololnya
seperti sahabatnya, Abi. Merasa berhutang budi kepada Abi yang telah
mempertemukannya dengan Aris, kini gantian Angga yang berusaha menjodohkan Abi
dengan sepupunya. Anita, namanya. Dia bersekolah di SMA yang sama dengan
mereka, junior mereka.
Dan
ketololan berlanjut saat Angga mengajak Aris untuk mendukung rencana
perjodohannya. Tapi karena Aris juga sudah memutuskan untuk menyerah terhadap
Abi, akhirnya dia menyetujui rencana Angga.
Hanya
saja saat itu Aris tidak menyadari bahwa rasanya bisa sesakit itu saat dirinya
mencoba menggoda Abi dengan berkata: “Malam minggu nanti mau ikut nonton bareng
gue dan Angga? Ada Anita juga lho. Kita bisa double-date.”
Dan
terlebih Aris tidak menduga bahwa hatinya bisa tiba-tiba merasa kebas ketika
Abi menjawab: “Boleh,” sambil nyengir girang.
Kata
orang, rasa sakit yang berlebihan bisa menyebabkan mati rasa. Mungkin itulah
yang sedang dirasakan hatinya sekarang. Kebas. Mati rasa.
* * *
Beberapa
tahun kemudian...
Abi
menatap layar laptopnya, nanar. Disana terpampang sebuah undangan pernikahan
elektronik. Nama Airlangga Kamanjaya dan Adinda Kania tertulis disana. Bukan Arista
Nareswari.
Abi
tidak pernah mendengar kabar lagi tentang Angga dan Aris sejak mereka lulus SMA
dan dirinya melanjutkan kuliah di Jepang. Dan dengan tidak mendengar kabar
apapun tentang mereka, Abi mengira hubungan mereka berdua baik-baik saja. Baik
Aris maupun Angga tidak ada yang pernah menceritakan kepadanya bahwa mereka
putus, sehingga ketika menerima undangan pernikahan Angga tanpa nama Aris di
dalamnya, Abi merasa bingung.
Saat
itu juga Abi langsung mengaktifkan YM-nya. ID Arista tidak aktif. Tapi
beruntung ID Angga tampak available.
Abi segera menyapanya.
abiyoso.dwipo : Gue baru baca
milis, Ngga. Congrats yow. Udah mau nikah aja lo.
angga.kamanjaya : Thanks, Bro.
Lu dateng ya. Bisa dong pulang ke Indonesia?
abiyoso.dwipo: Nanti gue
usahain ya. Eh, tapi gue pikir lo bakal nikah sama Aris, Ngga. Kapan lu putus
sama dia?
angga.kamanjaya : Putus?
HAHAHA. Gimana mau putus kalau nyambung aja nggak pernah?
abiyoso.dwipo : Hah?! Bukannya
kalian kuliah di jurusan yang sama ya?
angga.kamanjaya : Nah, apa
hubungannya antara kami sekelas pas kuliah sama status pacaran?
abiyoso.dwipo : Bukannya kalian
pacaran waktu SMA? Kan kita sering double-date
dulu?
angga.kamanjaya : Double-date mah dalam rangka
mencomblangi lu dan Anita aja. Dari awal kan emang gue nggak pernah pacaran
sama Aris. Tapi sejak lo mencomblangi kami, kami emang jadi sahabatan dekat.
Mungkin karena itu ya lo mikir bahwa kami pacaran?
abiyoso.dwipo : HAH?!
angga.kamanjaya : Lha, gue kan
dulu nggak pernah minta lo nyomblangin kita. Gue nggak pernah bilang naksir
sama Aris lho ya. Gue cuma tertarik sama Aris karena anaknya humoris dan
pintar. Lu aja yang mikir bahwa gue naksir dia dan sok nyomblangin kita.
abiyoso.dwipo : HAH?! (Abi
merasa otaknya lumpuh)
angga.kamanjaya : Ah, elu mah
hah-hah mulu dari tadi. Lemot banget deh.
abiyoso.dwipo : Heh?!
angga.kamanjaya : Dia naksir
orang lain, Bi.
abiyoso.dwipo : HAH?! (Kini Abi
merasa otaknya perlahan mati)
angga.kamanjaya : Tau ah.
Pantesan aja Aris nyerah sama lu. Lu orangnya lemot banget gitu sih.
abiyoso.dwipo : Maksud lo?
angga.kamanjaya : Pokoknya lu
dateng ya ke nikahan gue. Aris juga pasti dateng. Ntar lu tanya aja sama dia
langsung lah cerita lengkap tentang hubungan gue dan Aris.
Setelah
itu Abi mencoba menghubungi Aris. Tapi YM Arista tidak pernah aktif. Akhirnya
dia terpaksa hanya puas mengirimkan pesannya kepada Aris melalui email.
Tapi
ketika Aris tidak juga membalas emailnya, sementara hari pernikahan Angga
tinggal tiga hari lagi, Abi harus mengambil keputusan. Dengan panik dia memesan
tiket untuk pulang ke Indonesia, demi menghadiri pernikahan sahabatnya. Dan
terutama demi bertemu Arista. Bukan hanya untuk menanyakan mengapa bukan nama
gadis itu yang tertera bersama nama Angga. Tapi lebih jauh itu,dia ingin
meluruskan kesalahpahaman yang terjadi selama 9 tahun itu.
Resepsi
pernikahan Angga berlangsung meriah. Tidak kurang dari 1000 orang memenuhi aula
hotel tempat acara itu dilangsungkan. Dan berusaha menemukan seorang gadis
diantara 1000 orang manusia bukanlah urusan mudah. Bahkan sejak menjejakkan
kaki di hotel itu Abi sudah menajamkan penglihatannya untuk mencari sesosok
Arista Nareswari.
“Lu
terlambat, Bi,” kata Angga, menyambutnya di pelaminan ketika Abi mengucapkan
selamat atas pernikahannya. “Baru aja setengah jam yang lalu Aris disini. Tapi
dia buru-buru pergi lagi karena harus mengejar penerbangan.”
“Penerbangan?”
“Aris
dapat beasiswa ke Jepang juga. Hari ini dia berangkat.”
“Oh
ya? Ke Jepang?” Abi terkejut, “Lu tahu di universitas mana?”
“Lupa
gue. Tapi di Tokyo juga, kayak lo.”
Abi
bingung sekaligus senang. Di satu sisi, dia merasa kepulangannya demi Aris
menjadi sia-sia karena, lucunya, Aris malah pergi ke Jepang. Tapi di sisi lain,
Abi juga senang karena dia akan tinggal sekota dengan Aris lagi.
“Kalian
berdua kayak orang bodoh,” kata Angga kemudian sambil tertawa mengejek. “Pas
ada di depan mata, saling diam. Pas jauh malah saling mengejar.”
“Maksud
lo?”
“Lo
tuh emang kelewatan telminya, Bi,” ejek Angga. “Dari dulu Arista nggak pernah
jadian sama gue karena dia cintanya sama elu. Lu juga cinta sama dia kan?
Ngapain sok jodoh-jodohin gue ke dia, coba?” lanjutnya sambil tertawa dan
menepuk-nepuk bahu Abi gemas.
Selama
sekian detik, yang rasanya berabad-abad bagi Abi, dia terpaku setelah mendengar
ejekan Angga itu. Kalau saja bukan karena desakan tamu-tamu lain yang sudah
berbaris di belakangnya, Abi mungkin akan tetap terpana di hadapan Angga sampai
bertahun-tahun kemudian.
Abi
bahkan pulang dari acara resepsi itu tanpa menyentuh satu makananpun yang
dihidangkan. Abi seperti pulang tanpa benar-benar menapak di bumi. Hatinya
terbang ke langit ke tujuh ketika mengetahui bahwa Aris juga mencintainya.
Kalau
boleh jujur, sebenarnya Abi sudah mencintai Aris sejak lama. Sejak dia
menyadari bahwa dia tidak suka melihat Arista benar-benar menjadi dekat dengan
Angga. Abi jadi membenci dirinya sendiri karena dirinyalah yang menjodohkan
Angga dengan Arista, tapi dirinya jugalah yang tidak suka dengan kedekatan
mereka. Abi merasa menjadi pecundang dan orang munafik. Tapi dia tidak pernah
berani mengakuinya.
Ironis. Mereka
seperti dua orang bodoh saja. Saling
mencintai. Dan saling membohongi. Hanya karena tidak mau berpisah. Padahal
ingin saling memiliki. Helpless-idiot.
Beberapa
orang butuh waktu lama untuk menyadari perasaannya. Beberapa yang lain bahkan
butuh waktu lebih lama untuk mengakuinya. Abi butuh lima belas tahun untuk
keduanya. Dia sungguh-sungguh berharap dia belum terlalu terlambat untuk
memulai.
Dan
karena Abi sudah melewatkan lima belas tahun dengan kesia-siaan, dia tidak mau
menghamburkan waktu lagi. Begitu kembali ke Jepang, dia segera mencari tahu
melalui salah seorang kenalannya di Kedutaan tentang mahasiswa Indonesia yang
baru sampai di Tokyo yang bernama Arista Nareswari. Segera setelah mengetahui
kampus Arista di Tokodai (Tokyo Institute of Technology), Abiyoso tidak
membuang waktu untuk segera kesana.
Abi sudah menunggu Arista di depan kampusnya
selama hampir dua jam ketika akhirnya ia melihat gadis itu keluar kampus.
“How do you know?” tanya Arista dengan
wajah kaget karena tidak menyangka akan bertemu Abi sore itu, setelah lima
tahun tidak bertemu.
Bagaimana
Abi bisa datang ke kampusnya? Dia bahkan tidak memberitahu Abi bahwa dia pergi
ke Jepang. Aris tidak benar-benar berharap bisa bertemu lagi dengan Abi meski
ia akhirnya berhasil kuliah ke Jepang. Dia sudah menyerah bertahun-tahun yang
lalu. Dia belajar ke Jepang memang karena dirinya ingin, bukan demi Abi.
“I always know,” jawab Abi sambil
tersenyum gugup. Setelah lima belas tahun bersahabat, meski sudah lima tahun
tidak bertemu, ternyata kecantikan Arista masih saja membuatnya merasa lemas
tidak berdaya.
“Doshite?” Arista tidak mengerti maksud
Abi.
“Angga
yang cerita bahwa lo dapat beasiswa di sini,” kata Abi menjelaskan.
“Oh,”
gumam Aris singkat.
“Dia
juga cerita bahwa kalian nggak pernah pacaran,” Abi melanjutkan dengan makin
gugup.
Aris
bengong sebentar. Tidak menemukan korelasi antara kedua pernyataan tersebut.
Tapi beberapa saat kemudian ia tertawa juga.
“Need a whole life time to realize, eh?”
tanya gadis itu, sambil tersenyum menyindir.
“Yeah, fool me.” Abi mengangkat bahu
dengan pasrah. Dia memang merasa dirinya payah maksimal.
Lalu
mereka terdiam beberapa saat. Saling berhadapan. Saling menatap. Dan saling
kehilangan kata. Selama sepuluh tahun bersama Aris, baru kali itu Abi bisa
kehilangan kemampuannya berkata-kata.
“Well?” Aris mengerling gugup, memecah
keheningan itu. Dia mengira Abi akan mengatakan sesuatu dan bukannya bengong
begitu saja di tengah jalan seperti itu. “Hisashiburi.
Genki desuka?”
Abi
tersenyum mendengar pertanyaan Aris dalam bahasa Jepang ya masih kaku. “Genki desu,” jawab Abi. Dia menghela
nafas, berusaha meredakan detak jantungnya yang berlebihan, sebelum
melanjutkan: “Aishiteru.”
Senyum
Aris hilang. Dia tahu arti kata-kata Abi barusan. Tapi dia tidak yakin bahwa
dia mendengar kata yang dia rasa didengarnya. Apalagi pernyataan itu lagi-lagi
tidak ada korelasinya dengan pertanyaannya yang menanyakan kabar lelaki itu.
“I love you,” Abi mengulang.
Kali
itu barulah Aris yakin bahwa dirinya tidak salah mendengar atau mengartikan.
Dia hanya tidak tahu harus menjawab apa.
“Gue nggak mau lagi bohong sama diri gue
sendiri, dan sama teman-teman,” kata Abi, “Gue nggak pernah menganggap lo
sebagai teman. Gue selalu menganggap lo lebih.”
“Lebih
dari teman?” Arista tertawa, salah tingkah. “Of course! We never be just friend. We are bestfriend.”
“No. Bukan itu maksudnya,” kata Abi
buru-buru. “Gue sayang sama lo.”
“Dan
sesama sahabat memang harus saling ...”
“Gue
cinta sama lo!” potong Abi cepat. “Sebagai gadis yang gue cintai.”
Arista
diam, agak lama. Dia memandang Abi dengan dingin. “After all this years?” akhirnya hanya itu yang mampu dikatakan
Aris. Dia kaget. Dan tidak percaya.
“Gue
tahu gue sudah sangat terlambat. Makanya sekarang gue nggak mau kehilangan lo
lagi, Ris.”
“Terlambat?”
Arista mengulang dengan nada mencemooh. “Waktu nggak bisa kembali, Bi.”
Abi
menghela nafas. Dia punya firasat buruk soal ini. Apakah Arista sudah terlalu
lama menunggunya sadar hingga akhirnya gadis itu lelah dan tidak lagi
mencintainya? Apa yang harus dilakukannya jika benar hal itu yang terjadi? Dia
benar-benar tidak bisa kehilangan Aris lagi. Tidak, setelah kesalahpahaman yang
panjang selama ini.
“Gue
tahu selama ini gue udah bodoh banget. Maafin gue, Ris. Gue nggak bisa
kehilangan lo lagi. Arista, please, come
back to me.”
“I’ve told you, Abi, waktu nggak pernah
kembali,” kata Aris.
“Tapi
lo manusia kan? Bukan waktu? Lo bisa kembali kan?” Abi separuh memaksa.
Suaranya gemetar saking frustasi.
“Kecuali
lo punya tawaran yang cukup bagus?” jawab Aris, menantang.
“Marry me, Arista Nareswari, would you? Apa itu tawaran yang cukup
baik?”
Dimensi
ruang dan waktu yang terbentang di antara mereka terasa berhenti. Arista merasa
dirinya sedang disedot oleh sebuah pusaran waktu, ditarik ke masa lima belas
tahun yang lalu. Lalu dengan cepat semua kenangan tentang Abiyoso berkelebat di
ingatannya.
Arista
merasa hidup begitu lucu. Benar adanya, cinta itu seperti kupu-kupu. Kalau kau
mengejarnya, dia akan terbang pergi. Tapi kalau kau menanam taman bunga di
sekelilingmu, lalu diam disana, kupu-kupu akan menghampirimu. Arista tertawa
ketika menyadari hal itu.
Abi
melirik Arista yang sedang tertawa, dengan wajah bingung.
“Ris?”
Abi memanggil.
Masih
sambil tertawa, Arista mengangkat bahunya. “Lumayan. Daripada lu manyun.”
Alis
Abi bersatu, mencoba menganalisa arti jawaban itu. “Isn’t that another way to say yes?”
Arista
tidak menjawab. Dia hanya tersenyum dan memiringkan kepalanya. Dan itu adalah
gaya yang sangat dikenali Abi. Bahkan setelah lima tahun tidak bertemu, gaya
Arista saat menyatakan persetujuan tidak pernah berubah.
Mungkin
hatinya juga tidak berubah.
Banyak
hal yang tidak bisa menunggu dalam waktu lama. Tapi cinta pertama seringkali
bertahan lebih lama daripada sekedar belasan tahun. Ia bisa bertahan hingga
seumur hidup. Beruntung demikian bagi orang yang lamban berpikir seperti
Abiyoso Dwipoyono.
Daun-daun
tampak menguning. Sebentar lagi pasti berguguran. Tokyo akan segera menyambut
musim gugurnya. Tapi Abiyoso dan Arista justru sedang merasakan musim semi yang
indah ketika mereka saling berpelukan.
Nia sang cerpenis, makin bagus Ni tulisannya :)
BalasHapusma'acih dian, udh nyempetin baca cerpenku di sela2 kesibukanmu :)
BalasHapus