Aditya Permana tidak ingat kapan terakhir kalinya dia berlari secepat itu.
Tidak dalam waktu dekat sepertinya. Karena dia sudah merasa ngos-ngosan
sekarang, bahkan meski dia berlari hanya dari lapangan parkir. Sejauh yang
dapat diingatnya, dia terakhir kali berlari secepat itu belasan tahun yang
lalu, ketika dirinya dan sahabat kecilnya dikejar anjing tetangga. Kali ini dia
tidak sedang dikejar anjing tetangga, tapi sesuatu yang lebih mengerikan
daripada itu. Maut.
Bau desinfektan segera menyergap ketika Adit memasuki area rumah sakit.
Lorong-lorong panjang berwarna putih pucat menyambut kedatangannya. Dengan mata
yang cekatan, dia memperhatikan semua papan petunjuk di sepanjang koridor rumah
sakit. Dengan langkah yang tergesa, dia menelusuri koridor itu.
“Maaf, Pak,” Adit berhenti sesaat di hadapan seorang satpam. Dia nyaris
putus asa karena tidak juga menemukan papan petunjuk bertuliskan kata-kata yang
dicarinya. Nafasnya juga nyaris putus karena berlari kesetanan seperti itu. “Dimana
ICU?” dia bertanya dengan panik.
“Lurus aja, Mas. Pertigaan di depan, belok kiri,” jawab satpam itu.
Seperti mengetahui ketergesaan lelaki muda itu, sang satpam memberi petunjuk
arah yang singkat dan jelas.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada satpam tersebut dan mengatur nafas
sesaat, Adit kembali berlari menuju arah yang ditunjukkan sang satpam. Ketika
sampai di pertigaan koridor, Adit berbelok ke kiri. Tapi kemudian langkah
kakinya terhenti ketika dia mendapati wajah seseorang yang sangat dikenalnya,
berdiri 20 kaki di hadapannya.
“Mas Artha!” panggil Adit dengan
nafas yang masih putus-putus.
Artha menoleh ke arah suara itu. Adit tidak ingat kapan terakhir kalinya
Artha berwajah sekusut dan senelangsa itu. Dia tidak ingat sama sekali. Mungkin
karena wajah Artha memang tidak pernah seperti itu. Ini pertama kalinya Adit melihat wajah Artha yang tidak karuan.
Hidup memang sungguh tidak terduga. Baru saja dua jam yang lalu Aditya
merasa gembira dan antusias karena akhirnya bisa kembali menjejakkan kaki di
Indonesia setelah tiga tahun kuliah di Seoul. Tapi satu jam kemudian suasana
hatinya segera berbalik 180 derajat. Dia memang sengaja tidak memberi tahu
siapa-siapa bahwa dia akan pulang ke Jakarta. Dia ingin memberi kejutan. Dan
keluarganya memang terkejut senang ketika melihatnya pulang ke rumah. Tapi
kepada siapa dia paling ingin membuat kejutan, dia justru terkejut karenanya.
Segera setelah meletakkan kopernya di kamarnya, Adit dengan wajah sumringah
pergi ke sebuah rumah di depan taman kompleknya. Tiga tahun tidak mengubah
banyak hal. Taman itu tetap rimbun oleh pepohonan, diwarnai bunga-bunga dan
ramai oleh anak-anak. Angin berhembus menyejukkan. Tidak seperti di Seoul yang
musim panasnya terasa kering, Jakarta bisa dibilang hampir sepanjang tahun mengalami
musim panas, tapi udaranya lembab dan anginnya sejuk.
Adit rindu suasana seperti itu. Tidak
ada salju di Jakarta. Tidak juga sakura. Tapi ada bunga yang hanya bisa
dilihatnya di Jakarta. Banyak orang yang ingin pergi ke Jepang atau Korea hanya
untuk menikmati sakura di musim semi. Tapi Adit tidak ingin melihat bunga
apapun selain bunga yang sudah lebih dari dua puluh tahun dilihatnya. Bunga itu
mekar di sebuah rumah di depan taman kompleknya. Tumbuh bersamanya sejak kecil.
Alamanda Pradipta.
Tiga tahun sudah dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu sejak dia pergi ke
Seoul untuk melanjutkan kuliah magisternya. Adit sudah mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan program doktoralnya di universitas yang sama, Seoul National
University. Tapi dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dulu di masa libur
musim panas itu, sebelum kembali menekuni riset-riset doktoralnya.
Adit melangkah dengan senyum sumringah dan perasaan antusias ketika makin
mendekati bangunan bertingkat dua itu. Rumah yang dindingnya dicat hijau itu
meski tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman yang luas. Dan halaman itu
ditanami banyak pohon buah dan sayur. Pohon cabe dan jambu monyet adalah dua
diantara tanaman-tanaman lain yang tumbuh di halaman itu.
Adit menekan bel rumah itu sekali. Sambil menunggu seseorang membuka pintu
pagar, Adit memandang pohon mangga yang berada di dekat pagar. Dia tersenyum
mengingat dulu dia dan Manda sering sekali duduk-duduk di atas pohon itu untuk
mengusili anak-anak tetangga yang lewat di depan rumah Manda. Adit takjub
sendiri, bahkan sekedar kenangan tentang Manda saja bisa membuatnya tersenyum,
apalagi wujud nyatanya.
Samar-samar Adit mendengar langkah kaki mendekat dari dalam rumah. Adit merasakan
adrenalin memacu jantungnya berdenyut lebih cepat. Dia antusias dan gugup di
saat bersamaan. Ketika pintu terbuka, seorang perempuan berusia empat puluh
tahunan keluar dari baliknya. Adit tersenyum padanya. Dia segera mengenali
perempuan yang telah membantu di rumah Manda selama bertahun-tahun lamanya itu.
Perempuan itu membalas senyum Adit dengan ekspresi wajah yang membingungkan.
“Mas Adit sudah pulang? Kapan?” perempuan itu bertanya sembari buru-buru
membukakan pagar untuk Adit. Senyum perempuan itu seperti senyum lega dan
tertekan. Kombinasi perasaan yang membingungkan Adit.
“Baru sampai, Bi. Saya langsung kesini. Bibi apa kabar?” jawab Adit dengan
ramah.
Perempuan itu tersenyum miris, membuat Adit merasakan firasat buruk.
“Nggak baik, Mas,” jawab perempuan itu kemudian.
“Lho, kenapa? Bibi lagi sakit? Encok lagi abis nyetrika 50 kg bajunya Manda?”
Adit mencoba berkelakar. Si Bibi memang sering encok sejak dulu, mungkin karena
pekerjaannya yang banyak. Tapi menanggapi lelucon Adit, perempuan itu lagi-lagi
cuma nyengir miris. Adit segera merasa leluconnya tidak tepat waktu. “Bibi
kenapa?” tanya Adit kemudian.
Perempuan itu menggeleng. “Bukan saya, Mas. Mbak Manda yang sakit.”
“Hah?! Sakit apa, Bi?” tanya Adit
kaget, “Sekarang ada di dalam? Saya masuk ya Bi?“ dia meminta ijin.
“Mbak Manda nggak di rumah, Mas,” jawab si Bibi.
“Jadi? Di rumah sakit? Emang sakitnya parah? Sakit apa memangnya, Bi?” Adit
memberondong si Bibi dengan cepat.
“Lho? Mas Adit nggak tahu?” si Bibi balik bertanya dengan wajah bingung.
“Tahu apa?”
“Mbak Manda nggak cerita sama Mas Adit?”
“Cerita apa?” Adit mulai geregetan sama si Bibi. Kenapa mereka jadi saling tanya balik gini sih? Bikin
makin penasaran aja deh.
“Mbak Manda sudah sebulan ini dirawat.”
“Sebulan?!”
Kalau menurut istilah abege jaman
sekarang, ini mah namanya lebay. Tapi tidak ada cara lain untuk mengungkapkan
keterkejutan Adit selain istilah “samber-gledek-siang-hari-bolong”. Terakhir
kali Adit chat dengan Manda adalah
tiga malam yang lalu dan Manda bilang bahwa dia sehat-sehat saja. Mereka bahkan
chat sampai tengah malam. Tidak
mungkin orang sakit bisa chat hingga
tengah malam kan?
Dan Adit jadi beneran lebay. Dia tidak bisa mengontrol suaranya. Tiba-tiba
dia jadi nyaris membentak si Bibi saking kagetnya. “Emang sakit apa, Bi?!”
“Mbak Manda beneran nggak cerita?”
“Yee, si Bibi mah nanya balik. Cepetan deh Bi, ceritanya, Manda sakit apa?”
“Nggak tahu pasti, Mas. Tapi dua hari yang lalu Mbak Manda dioperasi.
Sampai hari ini belum sadar juga. Tadi subuh ada telepon dari rumah sakit,
katanya Mbak Manda makin parah. Bapak dan Mas Artha langsung ke rumah sakit.”
“Operasi?!” dan sekarang Adit betul-betul membentak. Kalau saja tidak
mengenal Adit sejak kecil, si Bibi pasti menyangka bahwa Adit sedang memarahinya.
Tapi itu bukan suara marah. Si Bibi tahu bahwa intonasi tinggi itu adalah
ekspresi kepanikan pemuda itu. “Operasi apa?!” tanya Adit
lagi, lebih memaksa.
“Bibi nggak
tahu, Mas,” jawab si Bibi dengan hati-hati, takut salah menjawab. “Tapi selama dua tahun ini mbak Manda beberapa kali operasi seperti ini.
Seingat Bibi, ini operasi ketiga. Baru kali ini Mbak Manda nggak bangun-bangun
setelah operasi. Bibi juga kuatir
banget.”
Dan segala hayalan liar segera berlarin di kepala Adit. Dia tidak bisa
menduga, sakit apa yang diderita Manda sehingga dia harus menjalani operasi
berkali-kali selama dua tahun ini. Dua tahun? Dan mengapa selama dua tahun
tersebut Manda tidak pernah mengatakan apa-apa dalam sesi chatting mereka?
Pak Arman, ayah Alamanda, menolehkan kepalanya ketika mendengar suara
seseorang di ujung lorong. Artha menoleh ke arah yang sama dan terkejut
mendapati pemilik suara itu. Bukan karena dia tidak mengenal orang itu, tapi
karena Artha tidak menyangka bisa bertemu dengannya saat itu.
“Adit?!” sapa Artha dengan wajah linglung, seperti tidak benar-benar yakin
pada penglihatannya.
“Mas Artha!” kata Adit sambil melangkah mendekat dengan cepat. Dia
menghentikan langkahnya di hadapan Artha, lalu memeluk dan menepuk punggung
Artha sekilas.
“Kapan lo pulang?” tanya Artha, sambil balas menepuk punggung Adit.
“Baru 2 jam yang lalu,” jawab Adit.
Setelah itu Adit berbalik dan menghadap pak Arman, lalu mencium tangan pria
berusia 60 tahun itu. “Assalamualaikum, Om,” kata Adit menyapa.
“Wa’alaikumsalam,” jawab pak Arman. Ekspresinya saat melihat Adit sama
terkejutnya dengan ekspresi Artha, putranya. “Kok Adit bisa kesini?”
“Tadi saya ke rumah Om. Kata Bibi, Manda di rumah sakit. Saya langsung
kesini,” jawab Adit cepat, “Manda kenapa Om?”
Tapi alih-alih Pak Arman menjawab pertanyaan Adit, justru Artha yang balik
bertanya pada Adit. “Lo bertanya seolah-olah lo nggak pernah tahu keadaan Manda
selama ini?”
“Emang gue nggak tahu. Emang Manda kenapa, Mas?”
“Kalian bukannya sering skype-an?”
“Tapi dia nggak pernah bilang apa-apa. Selalu bilang ‘sehat’ kalau gue
tanya kabarnya,” kata Adit menjelaskan. Dia menghela nafas berat lalu memandang
Artha dengan wajah serius, “Jangan tanya balik ke gue, Mas. Tolong jawab dulu, Manda
sakit apa?”
“ Kanker. Kanker otak,” suara pak Arman yang terdengar di telinga Adit.
Dan suara itu di telinga Adit berubah menjadi suara petir bervolume 100
desibel. Telinganya sampai
berdengung dan otaknya mati. Adit menoleh pada pak Arman dan Artha bergantian.
Artha menyadari kebingungan Adit. Dia menepuk bahu pemuda yang sudah
dianggapnya sebagai adiknya sendiri itu dan mengajaknya duduk di sebuah kursi
panjang.
“Lo baru pulang dari Seoul dan langsung ke rumah kami?” tanya Artha.
“Dan langsung kesini begitu Bibi bilang Manda sakit,” Adit menambahkan. “Bibi
bilang Manda dioperasi? Dan hari ini keadaannya memburuk? Gimana dia sekarang?”
Artha mengangkat bahunya sambil menghela nafas. Pak Arman nampak tidak
bereaksi dengan pertanyaan tersebut.
“Sama nggak tahunya dengan lo,” jawab Artha dengan tampang gelisah.
“Kata Bibi, ini operasi ketiga?” tanya Adit lagi.
Artha mengangguk.
“Sejak kapan sebenarnya?”
“You’re pathetic, Dit!“ kata
Artha sambil tersenyum mengasihani, “Manda benar-benar nggak bilang apa-apa
sama lo?”
Adit juga merasa dirinya sangat menyedihkan. Berita sepenting ini, bahkan
sahabatnya sendiri tidak mau memberitahunya.
“No wonder sih. Kalau lo tahu,
mungkin lo nggak bakal jadi kuliah ke Seoul,” kata Artha kemudian.
Adit terpana mendengar pernyataan Artha. “Jadi Manda udah tahu penyakitnya
sejak sebelum gue pergi? Dan dia nggak cerita ke gue sama sekali?!” suara Adit
meninggi. Artha tahu bahwa pemuda itu kesal dan sedih.
“Dia cuma nggak mau lo khawatir. Kalau bukan karena gue memergoki dia
pingsan, dia juga nggak bakal cerita ke gue dan Ayah,” kata Artha, berusaha
membesarkan hati Adit.
“Dan kenapa lo nggak bilang ke gue, Mas?” tanya Adit makin frustasi.
“Lo menyalahkan gue karena nggak kasih tahu lo sesuatu yang bukan urusan
gue?”
Adit memandang Artha dengan kesal. Tapi memang benar dia tidak bisa
menyalahkan Artha. Alamanda punya sifat pemarah yang membahayakan dan tidak
pandang bulu. Abangnya sendiripun tidak akan lolos dari amarahnya kalau sampai
berani ikut campur urusannya.
“Jadi sekarang, apa yang terjadi setelah operasi Manda yang terakhir?”
tanya Adit kemudian.
“Dia belum sadar juga. Udah dua hari. Dokter bilang coma,” jawab Artha dengan wajah nelangsa.
“Coma? Kok bisa?”
“Kenapa nggak bisa?” Artha balik bertanya, “Kalau yg dioperasi adalah
sesuatu serumit otak manusia, memangnya lo bisa mengharapkan apa lagi? Dia
masih hidup aja kami sangat bersyukur.”
Sesuatu menghantam kepala Adit saat itu juga. Dia masih hidup saja? Memangnya kondisi Manda separah itu sehingga
Artha bahkan masih bisa mensyukuri keadaan Manda yang coma?
“Ibunya Manda meninggal pada operasi kedua karena kanker rahim,” kata pak
Arman tiba-tiba. Adit menoleh padanya dan mendapati senyum di bibir lelaki tua
itu. “Manda bahkan bisa melalui operasi ketiga. Dia sudah berjuang lebih keras
daripada Ibunya dulu. Kita nggak bisa memaksanya lagi kalau dia sudah nggak
kuat.”
GILA!,
rutuk Adit dalam hati. Mereka semua sudah
gila! Bagaimana mereka bisa dengan mudah merelakan Alamanda?! Nggak,
gue masih waras. Dan gue nggak mau Manda pergi sebelum menjelaskan semuanya ke
gue!
Artha memukul bahu Adit ringan, membuatnya menoleh. “Mungkin Manda belum
pergi juga karena lo. Dia mungkin menunggu lo pulang.”
Sebuah belati tak tampak menyayat jantungnya, membuat dadanya nyeri dan
nafasnya tercekat. Kalau Alamanda belum pergi hanya karena menunggunya pulang,
apakah jika dia pulang maka Alamanda akan pergi?
Setelah satu jam menunggu,akhirnya seorang dokter keluar dari ruang ICU
tempat Alamanda dirawat. Pak Arman, Artha dan Aditya buru-buru menghampiri sang
dokter.
“Alhamdulillah sudah stabil,” kata sang dokter kepada pak Arman. Ketiga
pria berwajah kusut itu menghela nafas lega dan mengucap syukur. “Tapi Manda
masih belum sadar dari coma-nya. Saya
minta maaf,” lanjut sang dokter.
Pak Arman mengangguk penuh pengertian. “Kami bisa melihat Manda, dok?” tanya
pak Arman.
Sang dokter mengangguk mengijinkan. “Tapi masuk satu per satu,” katanya
mensyaratkan. Ketiga pria itu mengangguk. Dia kemudian pamit pergi karena masih
ada pasien lain yang perlu ditanganinya.
Setelah sang dokter dan para perawat keluar dari ruangan itu, ketiga pria
itu saling menatap. Tanpa kata, mereka saling berunding, siapa yang lebih
dahulu masuk kesana.
“Masuklah duluan, Dit,” kata Pak Arman akhirnya, sambil menepuk bahu Adit.
Adit tersenyum lega dan berterima kasih karena diijinkan menemui Alamanda lebih
dulu. Dia memang sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu. Meski di hatinya
dia khawatir jika perkiraan Artha benar bahwa Alamanda hanya sedang
menunggunya, dia tidak bisa menahan diri untuk menunggu lebih lama lagi. Dengan
perasaan ragu, takut dan berdebar-debar, Adit memakai pakaian khusus yang
disediakan untuk pengunjung ruangan itu, kemudian masuk.
Terakhir kali melihat Alamanda tiga tahun lalu, Aditya masih dapat mengingat
dengan jelas wajah sahabat kecilnya itu. Dan gadis yang dilihatnya berbaring di
ruangan pucat itu sama sekali bukan Alamandanya. Selang-selang bersliweran di
sekitar tubuh gadis itu, terhubung di sana-sini dengan tubuhnya. Badan kurus
dan wajah tirus. Nafas terdengar berat dari balik ventilator yang digunakannya.
Kepalanya tertutup balutan perban putih. Adit tidak mau percaya bahwa gadis itu
adalah Alamanda. Meski demikian, alis tebal dan tahi lalat di leher gadis itu
dengan mutlak menunjukkan bahwa dia memang Alamanda.
Adit terduduk lemas di samping tempat tidur Alamanda. Dengan mata
berkaca-kaca, dia melihat Alamanda yang kini hidup hanya karena ditopang oleh
serangkaian alat-alat itu. Sama sekali berbeda dengan Alamanda yang biasa
berlari dan melompat-lompat seperti kangguru.
“Manda … “ panggil Adit dengan suara merindu.
Sedikit ragu, Adit mengulurkan tangannya dan menyentuh jari-jari Alamanda.
Rasanya dingin. Perlahan Adit menggenggam tangan gadis itu. Sangat kecil dan
kurus. Pada keadaan normal, Alamanda pasti akan menepis tangan Adit sambil
manyun-manyun salah tingkah. Tapi kali itu tangan itu tidak merespon genggaman Adit.
Itu membuat hati Adit sakit.
“… gue pulang …“
kata Adit.
Gadis itu bergeming. Tidak menjawabnya. Bagi Adit, teriakan marah Alamanda
seribu kali lebih melegakan daripada kebisuan itu.
Kata orang, lelaki pantang menangis. Hanya ada dua alasan yang
memperbolehkan lelaki menangis: saat dikhitan, dan demi orang yang dicintainya.
Jadi apa artinya itu sebutir air bening dari mata Adit yang jatuh di telapak tangan
Alamanda?
* * *
Adit datang lagi ke rumah sakit itu keesokan harinya. Dan Alamanda belum
juga sadar. Tapi dokter sudah memindahkan Manda dari ICU ke ruang rawat biasa.
Itu membuat Adit sedikit lega. Ketika Adit masuk ke ruang rawat Alamanda, dia
mendapati Artha masih tertidur di samping tempat tidur adiknya. Perlahan di
mendekati Artha dan menepuk pelan bahu lelaki itu. Merespon tepukan di bahunya,
Artha bangun dan mengucek-ngucek matanya. Lalu menguap seperti kuda nil,
membuat Adit mundur beberapa langkah, mengantisipasi aroma tak sedap yang bisa
membuatnya pingsan.
“Akhirnya gue ketiduran …” kata Artha sambil menggeliat, merenggangkan
badannya yang pegal-pegal karena tidur dalam posisi duduk.
“Akhirnya?” Adit tidak mengerti.
“Gue nggak bisa tidur semalaman,” jawab Artha, “Sepertinya gue ketiduran
abis Subuh setelah Manda keluar dari ICU.”
“Gue juga nggak bisa tidur semalaman. Harusnya gue yang jaga di sini, tapi
lo dan om Arman malah maksa gue pulang,” kata Adit.
“Kan lo juga baru pulang dari Seoul, Dit. Belum sempat istirahat. Kalau lo ikutan sakit, tambah
ribet dong.“
“Nggak ada gunanya juga gue pulang, toh gue juga nggak bisa tidur.”
“Setidaknya lo nggak perlu duduk semalam suntuk. Pegal banget, tahu!“
Artha berdiri dan melakukan senam kecil untuk meluruskan tulang
punggungnya. Kemudian dia
melirik jam tangannya dan segera merasa jam tangannya tidak berfungsi dengan
baik. Artha melangkah ke jendela dan membuka tirainya. Lalu dengan kaget
berbalik memandang Adit.
“Ini masih jam 6 pagi!” kata Artha dengan mata melotot. Langit di luar
masih biru gelap. Matahari baru mengintip malu-malu. Jam tangannya jelas belum
rusak, masih menunjukkan waktu yang sebenarnya. Otak Adit lah yang rusak.
“Jadi?”
“Jadi,” jawab Artha sambil geleng-geleng kepala, “Ngapain lu jenguk orang
sakit sepagi ini, Adit? Emang lo nggak diusir sama suster?”
“Gue nggak tenang nunggu di rumah, Mas. Tadi gue bilang aja sama suster,
mau gantiin lo jaga. Gue bilang gue ini adik lo.”
“Adik gue?”
“Kenapa?”
“Adik gue?” Artha mengulang,
“Maksudnya, lu pengen jadi adik ipar gue?”
Wajah Adit serta merta memerah. “Nggak ngerti apa maksud lo, Mas,” jawabnya
dengan suara aneh.
Artha memandang Adit dengan tatapan tajam. “Gue nggak ngerti juga kenapa lo
harus sekhawatir itu terhadap Manda. Dia kan cuma teman lo,” katanya.
Adit merasa disindir habis. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Gue pulang dulu. Habis mandi dan ambil baju, gue balik kesini lagi,” kata
Artha kemudian, sambil menyambar kunci mobilnya.
Adit mengangguk salah tingkah. “Kalau capek, istirahat dulu aja, Mas. Gue
bisa jaga seharian,” katanya.
“Lu mengusir gue supaya lu bisa berduaan sama adik gue?” tanya Artha iseng.
“Lu ngomong apaan sih Mas?” Adit makin salah tingkah.
“Kenapa salah tingkah gitu sih? Biasa aja dong,” Artha menggoda, “Lu ngaku
sama suster bahwa lu adalah adik gue kan? Berarti lu adiknya Manda juga kan?
Jaga kakak lo baik-baik, kalau gitu, Adit.”
Artha memang paling pintar mempermainkan perasaan orang. Adit sama sekali tidak menyukai kata-kata terakhir Artha
itu. Selama bertahun-tahun Adit berusaha keras untuk menghapus fakta bahwa
dirinya tiga tahun lebih muda daripada Alamanda. Tapi kenapa Artha harus
mengingatkannya lagi pada kenyataan tidak menyenangkan itu?
Adit tidak ingat kapan terakhir kalinya dia pernah menatap wajah Alamanda
dalam waktu selama itu? Seingatnya tidak pernah. Dia belum pernah sepuas dan
seleluasa itu memandangi wajah Alamanda sebelumnya. Biasanya, setiap kali
dirinya mulai memandangi Alamanda, gadis itu akan ngomel: “Kenapa lu
lihat-lihat muka gue?! Ada yang aneh?! Mau ngeledek gue lagi?!”
Bagi Adit, memang ada yang aneh dengan wajah gadis itu. Ada sesuatu pada
gadis itu yang membuatnya selalu ingin melirik kepadanya. Entah apa itu
namanya, yang jelas Adit jadi selalu ingin berada di dekat gadis itu sehingga
bisa diam-diam memandanginya. Kali itu Adit tidak perlu lagi mencuri-curi
pandang ke arah Alamanda. Dia bisa menatapi gadis itu sepuasnya. Dia bahkan
bisa menggenggam jemari Alamanda tanpa merasa canggung atau takut dimarahi oleh
gadis itu. Tapi jika saja boleh memilih, dia lebih ingin dimarahi Manda karena
sudah lancang menggenggam tangannya, daripada harus melihat Manda terbaring
tidak berdaya seperti itu.
EKG menunjukkan detak jantung Alamanda yang beraturan. Nafasnya juga
terdengar beraturan, meski berat. Adit tidak tahu apakah dirinya harus gembira
atau tidak melihat kondisi Manda saat itu. Dia seharusnya bersyukur karena
kondisi Manda sudah stabil lagi. Tapi kestabilan itu bukankah juga berarti berlanjutnya
ke-coma-an?
“Kenapa belum bangun juga, Man? Lu berhutang banyak penjelasan sama gue!”
kata Adit sambil meremas tangan yang digenggamnya.
Aditya
berharap Alamanda akan berteriak kesakitan saat dirinya meremas tangan gadis
itu. Dia bahkan tidak keberatan kalau Manda memukulnya karena telah
menyakitinya. Tapi Manda justru tidak merespon sama sekali. Bagi Adit, itu
lebih menyakitkan dibanding pukulan Manda.
Jam dinding menunjukkan pukul 12 siang ketika Adit mendengar pintu kamar
rawat Manda diketuk. Tanpa menunggu jawaban, pintu itu terbuka. Seorang lelaki
muncul dari baliknya. Adit sempat
menangkap reaksi kaget selama sepersekian detik. Tapi Adit tidak
mempedulikannya.
“Assalamu’alaikum,” sapa lelaki itu ketika melangkah masuk.
“Wa’alaikumsalam,” Adit menjawab sambil bangkit dari duduknya.
Lelaki itu berkulit putih dengan tubuh yang lebih besar dan tinggi
dibanding Adit. Wajah kaukasiannya tegas
dan hangat. Sudah lama Adit
tidak melihat wajah itu, tapi dia mengenali hidung bengkok dan profil rahang kelabu yang
ditutupi rambut halus itu.
“Andrei!” sapa Adit sambil tersenyum dan melangkah mendekat.
“Hei!” lelaki yang disapa itu tampak sedang berusaha secepat mungkin
mengingat lelaki yang menyapa namanya. “Adit!” kata Andrei dengan suara lega,
akhirnya dia berhasil mengingat lelaki di hadapannya.
“Long time no see, Andrei,” kata Adit.
“Bukannya lo kuliah di Seoul?”
Dan merekapun berjabat tangan.
Keduanya tersenyum, meski bukan dengan maksud dan makna yang sama.
“Baru balik, Ndre,” jawab Adit.
“Udah selesai kuliahnya?”
“Belum sih. Masih lanjut S3. Tapi lagi libur, jadi gue pulang.”
“Jadi
lo pulang cuma karena libur? Bukan karena tahu keadaan Manda?”
Adit kembali ke dunia nyata. Dia terhempas, lebih tepatnya, oleh kata-kata
Andrei. “Waktu sampai di sini, gue baru tahu bahwa Manda sakit,”
dengan malu hati, Adit mengaku.
Andrei memandang Adit dengan bingung. “Manda nggak cerita ke lo?”
Adit menggeleng. Andrei menatap Adit dengan tidak percaya.
“Mau menjenguk Manda?” tanya Adit, mencoba
mengabaikan tatapan Andrei pada
dirinya. “Duduk, Ndre,” Adit mempersilahkan.
Andrei mengangguk. “Gue kesini mau menunjukkan bahwa cetakan ketiga novel Alamanda
sudah terbit.”
Andrei membuka tas ranselnya dan menunjukkan sebuah buku dengan sampul
berwarna putih, bergambar sebuah buku yang berbentuk hati berwarna merah jambu
di tengahnya.
“Gue udah mengubah covernya,
sesuai permintaan Manda,” lanjut Andrei.
Andrei Milanov adalah seorang cover
designer di sebuah perusahaan penerbitan. Adit bertemu dengannya pertama
kali ketika mengantar Manda ke penerbitan itu. Sejauh pengetahuan Adit, Manda
bekerja paruh waktu di penerbitan itu sebagai first-reader. Menurut Manda, pekerjaannya adalah membaca
novel-novel yang akan diterbitkan oleh penerbit itu. First-reader team itu terdiri dari 20 orang awam, terdiri dari
berbagai usia, profesi dan latar belakang pendidikan. Jika sebagian besar orang
itu menyukai novel yang diajukan, barulah penerbitan itu akan menerbitkan novel
itu. First-reader team dianggap
sebagai perwakilan selera masyarakat umum.
Manda sangat menyukai pekerjaan paruh waktunya itu. “Gue bisa baca novel-novel bagus sebelum orang lain
membacanya. Dan gratis!” kata Manda,
bercerita tentang kerja paruh-waktunya dengan sangat antusias.
Tapi Adit tidak tahu bahwa seorang first-reader
punya wewenang untuk minta perubahan desain sampul novel yang akan diterbitkan.
Tapi tunggu, kata Adit pada dirinya sendiri, tadi
Andrei bilang apa? Cetakan ketiga novel Alamanda? Novel Alamanda?
“Ini novel yang ditulis Manda?” tanya Adit ragu, sambil menunjuk novel yang
dipegang Andrei.
Andrei mengangguk. Dia lalu menyerahkan novel itu kepada Adit. Adit menerimanya dengan bingung lalu mengamati sampul
novel itu.
“Aurora?” Adit membaca nama yang tertera di pojok kanan bawah sampul novel
itu. Dia melirik Andrei.
“Itu nama pena Manda,” kata Andrei. Lalu tiba-tiba Andrei memekik, “Lo
nggak tahu bahwa Manda adalah penulis novel?!”
Adit menggeleng. “Dia bilang bekerja paruh waktu di perusahaan lo sebagai first-reader team.”
“Dan lo percaya?”
“Apa harusnya gue nggak percaya kata-kata sahabat gue sendiri?” Adit balik bertanya, merasa terpojok.
“Lo belum pernah membaca novelnya juga?” tanya Andrei, dengan mata
mendelik.
Adit menatap sampul novel yang dipegangnya. Aurora, gumamnya dalam hati. Nama itu terasa tidak asing baginya.
Ketika dia berusaha mengingatnya lagi, Adit baru sadar. Sudah beberapa tahun
terakhir ini Manda menghadiahinya kado ulang tahun berupa novel. Dan semua novel-novel itu selalu berasal dari satu
penulis yang sama.
“Gue adalah first-reader
novel-novel karya Aurora. Gue hadiahkan buat lo,” kata Manda pada hari ulang
tahun Adit, beberapa tahun lalu.
Adit melirik gadis yang terbaring di dekatnya. Geregetan rasanya.
Belakangan ini kok rasanya gadis itu terlalu banyak menyimpan rahasia darinya?
Baru saja dirinya dikagetkan oleh fakta tentang kanker otak gadis itu, kini dia
harus terkejut lagi karena ternyata novel-novel yang selama ini diterimanya
adalah karya Manda sendiri. Adit jadi bertanya-tanya, rahasia apa lagi yang
disembunyikan gadis itu darinya?
“Jadi lo nggak tahu bahwa Manda adalah penulis novel? Bahwa nama penanya
adalah Aurora? Dan lo bahkan belum pernah membaca novelnya?” tanya Andrei
kaget.
Dengan menyesal, Adit terpaksa menggeleng. Sampai saat ini seingat Adit,
Manda sudah empat kali memberinya kado berupa novel karya Aurora. Tapi Adit
belum pernah sekalipun membaca novel-novel itu.
“Pantas aja lo nggak tahu bahwa Manda sakit,” kata Andrei. Entah
mengapa Adit menangkap nada mencemooh dari kata-kata Andrei itu.
“Maksud lo?” tanya Adit, tidak mengerti.
Andrei mengangkat bahunya dengan gaya pasrah. Putus asa rasanya
menghadapi makhluk payah dan menyedihkan seperti Adit itu. Adit jadi penasaran ketika melihat reaksi Andrei. Ia menatap Andrei dan novel di tangannya bergantian.
Andrei merasa geregetan melihat wajah tolol Adit. Sementara Adit bingung saat
membaca novel di tangannya.
DREeAM. Itu adalah judul novel
itu. Adit teringat, itu adalah novel yang sama yang diterimanya sebulan lalu.
Pada hari ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, sebuah paket datang ke
apartemennya di Seoul, berisi sebuah novel karya Aurora yang berjudul aneh.
Orang-orang bertahan pada impiannya.
Aku bertahan padamu.
Betapa sederhana alasannya.
Andai kau mau membaca hatiku.
Itulah kata-kata yang tertulis di bawah judul novel
itu. Mungkin itu mengapa buku itu berjudul DREeAM.
“Ngomong-ngomong,” kata Andrei. Adit kembali
memandang pemuda berhidung bengkok itu. “Itu novel Alamanda yang keempat.
Sebaiknya lo baca dari buku pertamanya.”
Adit terpaku. Novel pertama Manda? Dimana dia meletakkan buku itu
ya?
* * *