Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 01 Desember 2012

HUJAN




Bagi beberapa orang, hujan datang membawa masa lalu.


Bagi Rainy, hujan bukan sekedar tetesan air dari langit. Hujan adalah penyebabnya ada. Hujan adalah alasannya terlahir di dunia ini. Hujan adalah masa lalunya, dan entah mengapa selalu menyertai segala hal buruk dalam hidupnya. Mungkin karena itulah hujan pula menjadi namanya. Mungkin karena itu pulalah ia membenci namanya sendiri. Karena ia membenci hujan. Baginya, hujan berarti tangisan langit.
Hanya satu orang yang mampu membuatnya percaya bahwa hujan bukan tangisan langit, tapi berkah dari Tuhan. Guntur, lelaki pecinta hujan. Dialah yang mengajari Rainy menikmati warna langit yang mendung.
“Gue nggak suka jadi anak SMA begini. Seragamnya putih-abu-abu. Kayak warna langit mendung. Kelabu, abu-abu, muram, kata Rainy suatu ketika.
Lihat yang bener, Ray. Mendung itu ada untuk melindungi manusia dari matahari yang terlalu panas. Mendung itu meneduhkan, balas Guntur, menertawakan pendapat Rainy.
Mendung itu kayak mata sembab yang siap nangis sewaktu-waktu.
Mendung itu yang mengantarkan air langit buat bumi. Berkah dari langit buat makhluk Tuhan di bumi.
Tapi hujan bikin banjir.
Hujan yang sama juga mengisi sumur-sumur yang kering dan hutan-hutan yang gersang.
Rainy menoleh pada sahabatnya. Menatap mata kelabu lelaki itu. Dan sejak itu dia mencintai warna abu-abu.
Lelaki itu juga yang mengenalkan aroma tanah basah padanya.
Tarik nafas yang dalam, Ray, kata Guntur di hari lain, di halte bis kampus mereka, ketika menunggu hujan reda.
Apa?
Tarik nafas, pelan dan dalam, kata Guntur lagi, sambil menggenggam tangan Rainy.
Rainy menarik nafas, bukan karena mengikuti perintah Guntur, tapi karena tercekat saat lelaki itu menggenggam tangannya.
Terasa kan? tanya Guntur.
Ap ... apa?
Terasa kan? Bau tanah basah.
Oh, itu ... jawab gadis itu singkat, menutupi salah tingkahnya.
Bau sejuk kayak gini cuma bisa dinikmati setelah hujan. Cuma lo yang bisa bikin aroma menentramkan begini.
Eh?
Cuma hujan yang bisa bikin tanah mengeluarkan aroma terbaiknya. Cuma hujan. Rainy. Kamu.
Rainy tertegun.
Jangan lagi membenci nama lo sendiri, Rainy.
Lelaki itu menatapnya, serius. Pada mata lelaki itu Rainy menemukan kilatan cahaya yang membuat hatinya bergemuruh. Dia tahu, lelaki itu akan menjadi bagian penting dari hidupnya. Dan benarlah firasat Rainy bertahun-tahun lalu itu. Kini lelaki itu sudah menjadi bagian dari hidupnya, lebih dari sekedar sahabat atau pacar. Lelaki itu kini adalah keluarganya.
Adik iparnya.



Kini Rainy makin membenci hujan. Warna langit yang abu-abu dan gelegar suara dari langit selalu membawa kenangan manis tentang cinta pertamannya. Guntur. Tapi seperti makan makanan yang terlalu manis bisa menyebabkan sakit diabetes, maka mengenang memori yang terlalu manis kadang juga bisa menyebabkan rasa sakit yang sama kronisnya dengan diabetes. Membuatmu selalu ketergantungan pada lagu-lagu patah hati untuk menghilangkan kenangan yang terlalu manis, seperti halnya pasien diabetes sangat tergantung pada injeksi insulin untuk menetralisir gula darahnya.
Hujanlah yang membuat Rainy pertama kali menyadari cintanya pada Guntur. Tapi di hari hujan jugalah Guntur membuatnya patah hati.
“Sebenarnya, gue udah lama pengen ngomong ini ke lo, Ray. Tapi gue selalu takut,” kata Guntur suatu hari.
“Eh?”
“Gue mau mengakui perasaan gue. Tapi lo jangan marah ya?”
Tanpa bisa dicegah, jantung Rainy memompa darah lebih banyak ke seluruh tubuhnya. Tapi dia berpura-pura tidak berespon apa-apa.
“Udah lama gue naksir sama Tari, Ray.”
Jantung Rainy berhenti berdetak. Berhenti.
Mentari adalah adik perempuan Rainy. Dua tahun lebih muda daripada Rainy dan Guntur. Gadis itu memiliki sifat yang berkebalikan dengan Rainy. Ceria, bersemangat dan meluap-luap, tepat seperti namanya.
Jantung Rainy berhenti berdetak mendengar pengakuan Guntur. Dia berharap semua itu hanya ilusi di kepalanya. Tapi sayangnya otaknya masih berfungsi sangat baik. Nalarnya mulai memutar waktu ke beberapa bulan belakangan ini.
“Eh, udah lama nggak karaokean. Yuk, Ray!” ajak Guntur suatu hari.
“Ngapain karaokean berduaan? Mana seru?” jawab Rainy malas.
“Ajak Tari aja!”
Sejak itulah Guntur makin sering mengajak Tari ikut dalam acara hang-out mereka: nonton, karaokean atau makan. Bahkan beberapa kali Guntur datang ke rumah Rainy saat jelas-jelas Rainy sedang tidak ada di rumah. Ternyata semua itu cara Guntur untuk mendekati adiknya. Ternyata selama ini Guntur berada di sisinya hanya demi mendekati adiknya, bukan dirinya.
Gue selalu merasa bersemangat kalo ngobrol sama Tari. Leluconnya garing tapi nggak tertebak. Dia selalu datang dengan kejutan-kejutan. Gue suka,” lanjut Guntur, bercerita dengan mata berkilat-kilat. Apa gue boleh jadi adik ipar lo, Ray?
Terdengar bunyi guntur dan kilatan cahaya dari langit. Rainy berharap petir itu akan menyambarnya saja hingga mati.
Benarlah kata orang bijak: Tidak ada yang bisa mencintai seseorang yang tidak mencintai dirinya sendiri. Jadi bagaimana Rainy bisa mengharapkan Guntur mencintainya kalau Rainy tidak mencintai dirinya sendiri? Maka saat Guntur memintanya menjadi kakak iparnya, Rainy cuma bisa membalas dengan senyum. Senyum tak bermakna.

* * *

Terdengar bunyi guntur dan kilatan cahaya dari langit. Wajah langit sudah sangat kelabu, siap meraung dan membanjiri bumi dengan air matanya. Rainy mulai menyesal. Sabtu sore, mendung, sendirian. Harusnya tadi dia berdiam di rumah saja, bukannya jalan-jalan keliling Jakarta demi menghalau kebosanan.
Rainy menegadahkan telapak tangannya. Setetes air sampai di telapak tangannya. Ia selalu tepat waktu memprediksi datangnya hujan. Sesuai dengan namanya.
Ia mengeluarkan payung dari tasnya tepat sebelum gerimis mulai berlomba turun. Ia segera membuka payung ungunya, seperti yang juga dilakukan beberapa orang lain yang berdiri di sekitarnya. Mereka segera membuka payung masing-masing. Tapi pria yang sejak tadi berdiri beberapa meter di sampingnya tampak tidak membawa apa-apa, termasuk payung. Pria yang kira-kira berusia 50 tahunan itu tampak agak bingung menghadapi hujan yang mendadak turun. Tidak ada halte di sepanjang jalan itu yang bisa menjadi tempat berteduh.
Rainy melangkah mendekat dan membagi payungnya dengan lelaki itu tanpa berkata-kata. Si Bapak terpana sesaat ketika menoleh pada Rainy. Rainy membalas tatapan heran itu dengan senyuman sambil menundukkan kepala singkat.
“Makasih ya Mbak,” kata si Bapak sambil tersenyum lebar.
Rainy mengangguk sambil membalas senyum Bapak itu.
“Nunggu kendaraan apa, Pak? Kok dari tadi nggak cegat angkot apa-apa?” tanya Rainy.
“Nunggu taksi, Mbak. Tapi dari tadi kok nggak ada taksi lewat sini ya?”
“Kurang tahu, Pak. Saya jarang ke daerah sini. Mungkin emang jarang. Tunggu aja Pak. Semoga ada taksi lewat sini.”
“Mbak nunggu taksi juga?”
“Nggak, Pak. Saya nunggu mikrolet yang ke Senen.”
“Angkot yang itu?” Lalu tiba-tiba Si Bapak menunjuk sebuah mobil biru yang melaju ke arah mereka.
Beberapa orang di sekitar Rainy mengulurkan tangannya, meminta mikrolet itu berhenti. Setelah mobil biru itu berhenti, orang-orang tersebut naik ke dalamnya dan mobil itupun melanjutkan perjalanannya.
“Lho, Mbak nggak naik? Katanya nunggu mikrolet itu?” tanya si Bapak karena Rainy tidak bergerak sedikitpun.
Rainy tersenyum.
“Hujannya lumayan deras, Pak. Saya tunggu Bapak sampai dapat taksi.”
Si Bapak mengucapkan terima kasih dan maaf berkali-kali sampai membuat Rainy tidak enak hati. Dia bukan orang sebaik itu. Dia hanya tidak tega melihat pria seusia itu kehujanan.
“Masih banyak mikrolet yang akan lewat Pak. Santai aja,” jawab Rainy.
Ketika lima belas menit kemudian, setelah lima mikrolet lewat tersia-sia di depan matanya, akhirnya sebuah taksi datang juga. Rainy memayungi Bapak itu sampai naik ke taksinya lalu membungkuk pamit.
“Mbak rumahnya dimana? Sekalian saja saya antar naik taksi ini,” kata si Bapak sebelum Rainy beranjak pergi.
“Nggak apa-apa Pak. Saya naik mikrolet aja. Hati-hati ya Pak.”
Rainy membungkuk sekali lagi, tersenyum, lalu membantu si Bapak menutupkan pintu taksi. Ketika taksi itu sudah melaju, barulah si Bapak itu teringat sesuatu. Dia belum mengucapkan terima kasih yang layak kepada gadis yang sudah menolongnya itu. Dia bahkan tidak tahu nama gadis itu. Ketika dia menoleh ke arah gadis berpayung ungu itu, dia melihat gadis itu sedang menaiki angkot yang sejak tadi ditunggu si gadis.
Lelaki tua itu berharap bisa bertemu dengan gadis itu sekali lagi untuk membalas budi.



Tuhan rupanya mendengar doa lelaki itu. Beberapa minggu kemudian ia bertemu lagi dengan gadis berpayung ungu itu. Kali itu di perusahaannya. Gadis itu ternyata melamar sebagai Finance Controller di perusahaannya. Akhirnya si Bapak menemukan cara membalas budi.
“Jadi, sudah cocok dengan penawaran perusahaan kami kan? Jadi kapan bisa mulai masuk kerja?” kata si Bapak kepada gadis berpayung ungu itu.
“Saya ... diterima, Pak?”
“Iya. Kamu diterima,” si bapak menjawab tanpa ragu, sambil tersenyum lebar.
“Bapak bahkan belum mewawancarai saya tentang apapun?”
Rainy sudah terkejut untuk kedua kalinya sepagian itu. Pertama, ketika bertemu dengan Finance Director yang akan mewawancarainya, yang ternyata adalah si Bapak yang beberapa minggu yang lalu ditemaninya menunggu taksi kala hujan. Ternyata namanya Pak Arman, Finance Director perusahaan farmasi yang akan menjadi bos besarnya nanti. Kedua, ketika tanpa interview terkait pekerjaan, tiba-tiba Pak Arman sudah menanyakan kapan ia siap bekerja.
“Saya sudah baca CV kamu. Nilai-nilai kuliah bagus. Sudah berpengalaman di Finance selama tiga tahun. Hasil psikotest juga cocok.”
“Bapak bukan menerima saya karena kejadian itu kan Pak?” tanya Rainy curiga.
“Saya bukan bos sebaik itu, Rainy. Saya bahkan bisa sangat menyebalkan.”
Pak Arman tertawa lebar. Rainy tersenyum canggung.
“Jadi? Kapan?” tanya Pak Arman lagi.
“Saya harus mengundurkan diri dulu ke perusahaan saya yang sekarang, Pak.”
One-month-notice? Oke. Kalau begitu bulan depan?”
Pak Arman mengulurkan tangan sambil tersenyum. Rainy membalas tersenyum, lalu menjabat tangan calon bosnya, tanda sepakat.

* * *

Ternyata benar kata Pak Arman. Dia bukan bos sebaik itu. Sejak awal pria berkacamata oval itu sudah memberinya tugas untuk meng-assess proses produksi di Manufacturing Division.
“Rainy akan menjadi Controller untuk Manufacturing Division. Project pertama kamu adalah mempelajari cost efficiency apa yang bisa kita lakukan di Production Department,” perintah si bos di hari pertama bekerja, tidak lama setelah beliau mengenalkannya dengan seluruh rekannya di Finance Division.
Sejak itu, Rainy lebih banyak menghabiskan waktunya bersama kru Manufacturing daripada kru Finance. Rainy bahkan jadi lebih sering berdiskusi, bertengkar dan berhura-hura dengan Production Supervisor dibanding dengan bosnya sendiri. Rupanya si Production Supervisor juga sedang ditekan oleh Bu Yeni, sang Production Manager, untuk mengefisienkan production cost di departemennya. Jadilah Rainy dan si Production Supervisor merasa menjadi teman senasib sepenanggungan.
“Gue pikir, lo harus atur schedule produksinya untuk meminimalkan changing-part mesin, Bhas,” kata Rainy kepada si Production Supervisor.
“Gue juga udah mikir begitu, Rain. Akan lebih efisien kalo ada line khusus terutama untuk produk-produk unggulan,” jawab Bhaskoro, si Production Supervisor. “Berapa continous-batch harus kita susun supaya dapat cost-efficiency yang signifikan?”
“Hmmm... Belum gue hitung pasti.”
“Kapan gue bisa dapat perhitungan pastinya?”
Are you kidding me? Kenapa gue merasa seolah-olah ini tanggung jawab gue sendiri? Ini kan wilayah kekuasaan lo. Harusnya lo yang lebih tahu kan? Lo udah hitung lost yield dari masing-masing tahap produksi belum?”
Bhaskoro melirik jam tangannya. Lalu gantian melirik Rainy. Lalu tersenyum.
“Rain, lo kelihatan mulai nafsu tuh. Udah waktunya makan sore kayaknya. Kita makan bakwan malang dulu yuk. Nanti lanjutin lagi kerja kalau lo udah kenyang. Bahaya nih kerja sama lo kalau lo lagi kelaparan gini.”
Rainy manyun.
“Ajak Naina yuk,” lanjut lelaki itu membujuk.
Rainy sudah curiga sejak lama. Bhaskoro ini sepertinya memanfaatkan dirinya untuk mendekati Naina, si Packaging Supervisor. Sering sekali Bhaskoro mengajak Rainy makan atau nonton hanya untuk kemudian mengajak Naina juga. Mungkin Bhaskoro tidak berani mendekati Naina secara frontal sehingga membutuhkan dirinya sebagai perantara atau mak-comblang. Kalau diingat-ingat lagi, kejadian seperti itu rasanya sudah sering terjadi dalam hidupnya. Dulu juga Guntur melakukan hal serupa terhadapnya untuk mendekati Mentari. Rainy mulai berpikir, mungkin dirinya memang ditakdirkan untuk selamanya menjadi perantara kisah-kisah cinta orang-orang di sekitarnya.
Masih manyun, Rainy mengangkat interphone di sampingnya dan menekan nomor ekstensi ruangan Naina. Hanya dalam lima detik, interphone di ruangan seberang diangkat.
“Ya, Bhas?” jawab suara Naina.
Rainy menelepon dengan interphone dari ruangan Bhaskoro, wajar saja kalau nama yang tertera di interphone Naina adalah nama Bhaskoro sehingga Naina  mengira Bhaskoro yang meneleponnya.
“Ini Rainy, Na.”
“Oh. Hai, Rain! Kenapa?”
Didengar dari cara Naina menjawab telepon, sepertinya gadis itu sedang sibuk.
“Bhas ngajak makan bakwan malang.”
“Wah! Mau banget!” jawab Naina antusias. Rainy menekan tombol speaker sehingga Bhas bisa mendengar suara Naina juga. “Gue juga kelaparan nih. Tapi kerjaan gue lagi banyak banget. Sebentar lagi line Marchesini mulai packing. Gue mesti nunggu line preparation beres dulu. Kalian duluan aja. Ntar gue nyusul yow!”
“Oke,” Bhaskoro menjawab. “Gue sama Rainy duluan ya. Nanti lo langsung nyusul ke Bakwan Malang Cak Su ya!”
“Siap, Bro!”
Interphone di kedua sisi ditutup. Lalu Bhaskoro menarik tangan Rainy.
“Ayo Rain, cepetan makan. Kita alihkan nafsu membunuh lo jadi nafsu makan.”
Rainy diam saja ditarik-tarik seperti itu. Manyun, dia mengikuti Bhaskoro keluar dari ruang produksi. Lalu mereka pergi ke Warung Bakwan Malang Cak Su yang terletak di belakang gedung kantor mereka.


“Mendung, Bhas,” kata Rainy. Matanya menatap keluar warung bakwan malang Cak Su selagi mereka menunggu pesanan datang.
“Bakal hujan lebat nih kayaknya,” timpal Bhas.
Tidak lama setelahnya, gerimis turun dari langit. Disusul dengan guntur yang menggelegar. Lalu langit menangis makin keras dan deras.
Ponsel Riany berbunyi tak lama setelah dua mangkok bakwan malang diantarkan ke meja mereka. Nama Naina tertera disana.
“Hujan, say. Males keluar ah gue. Maaf ya, nggak jadi ikut kalian makan bakwan malang. Gue nitip aja deh, bungkusin satu ya,”
Rainy menutup ponselnya lalu menyampaikan pesan Naina kepada Bhaskoro.
“Hujan emang mengacaukan semua rencana,” gumam Rainy pelan.
“Ah, nggak juga,” jawab Bhaskoro sambil tersenyum santai.
Rainy menikmati bakwan malangnya dalam diam sambil sesekali memandangi hujan yang makin menjadi. Hari masih sore, tapi langit nyaris segelap petang.
“Lo nggak suka hujan ya?” tanya Bhaskoro sambil memasukkan sepotong tahu ke mulutnya.
“Hmm?”
“Lo nggak suka hujan?”
Rainy tidak menjawab. Dia memakan baksonya.
“Lucu ya. Nama lo Rainy, tapi lo benci hujan. Justru gue yang bernama Bhaskoro, malah suka hujan,” kata Bhaskoro, tertawa pelan.
Rainy mengangkat kepala dari mangkoknya.
“Emang apa arti nama lo, Bhas?” Rainy tergelitik.
“Matahari.”
Rainy melihat kebanggaan di wajah lelaki itu saat ia menyebut arti namanya. Wajah lelaki itu memang selalu bercahaya, menggambarkan sifatnya yang hangat dan ceria. Pantas saja jika kepribadian seperti itu membuat silau banyak perempuan.
“Bhaskoro. Matahari ... Cocok sama sifat lo,” kata Rainy.
Bhaskoro tersenyum. Menganggap itu sebagai pujian.
“Kenapa lo suka sama hujan? Bukannya mendung saat hujan malah membuat matahari nggak terlihat?” Rainy bertanya penasaran.
Bhaskoro menggeleng. Tetap sambil tersenyum.
“Tanpa ada hujan, nggak akan ada pelangi.”
“Apa?” Rainy tidak mengerti.
Supaya ada pelangi, matahari harus bertemu dengan hujan.


Bagi Rainy, hujan selalu membawa cerita. Hujan kala itu membawanya pada cinta yang baru. Seketika ia jatuh cinta pada lelaki matahari itu. Tapi dia tahu, kisahnya kali ini akan sama saja akhirnya seperti cintanya pada Guntur. Bhaskoro sudah menyukai Naina. Dan tidak mungkin mencintainya.
Rainy tidak mengerti mengapa ia selalu menyukai laki-laki yang tidak bisa membalas cintanya. Mungkin itu mengapa ia dinamakan Rainy. Mungkin dia memang sudah ditakdirkan untuk selalu menangisi kisah cintanya sendiri.

* * *

Rainy tahu bahwa dia sedang mengulang kisah cinta yang sama menyedihkannya dengan kisahnya dulu. Dia mencintai laki-laki yang sudah mencintai perempuan lain, dan memanfaatkannya untuk mendekati perempuan itu. Dia sudah tahu bahwa pada akhirnya dia yang akan merasa sakit sendiri. Tapi sekarang dia punya pilihan. Dia masih punya kesempatan untuk melarikan diri dari akhir yang tragis itu.
Rainy bertekad untuk segera menyelesaikan project-nya dengan Manufacturing Division, terutama Production Department. Dengan begitu ia tidak perlu lagi bertemu dengan Bhaskoro. Ini adalah caranya mencegah sakit hati. Namun selagi ia masih harus terus berhubungan dengan Bhaskoro sampai project mereka selesai, Rainy memutuskan untuk tidak pernah lagi menerima ajakan Bhaskoro untuk makan, nonton atau karaoke bareng. Dia tahu, dia hanya akan jadi perantara untuk memecah suasana canggung antara Bhaskoro dan Naina. Dan Rainy sudah tahu rasanya, bahwa menjadi perantara bagi orang yang dicintai jauh lebih menyakitkan daripada cinta yang ditolak.
Dalam waktu sebulan lebih cepat dari yang ditargetkan Pak Arman, Rainy sudah menyelesaikan tugas pertamanya. Pak Arman menerima laporan Rainy dengan sangat senang.
“Berapa produk yang sudah menerapkan sistem ini?” tanya Pak Arman.
“Baru tiga produk unggulan kita, Pak. Plant Logistic dan Purchasing setuju untuk mengatur jadwal pengadaan bahan, produksi dan pengemasan untuk 10 batch berurutan untuk meminimalkan lost-yield dan efisiensi waktu saat machine change parts.”
“Nego sama PL dan Purchasing itu masih lebih gampang daripada sama QA/QC. Kamu tahu, mereka selalu cerewet soal GMP?”
“Kami juga sudah rapat dengan QA/QC, Pak. Mereka sudah memvalidasi proses produksi dan proses pembersihan. Hasilnya oke. Kita boleh produksi ten-continous-batch.”
Pak Arman tertawa senang.
“Saya tahu kamu bisa!” kata Pak Arman memuji.
Rainy mengangguk dan tersenyum kecil. “Makasih Pak.”
Project selanjutnya masih terkait Manufacturing Division. Saya pikir kamu cocok dengan Bhaskoro dan Naina dari Production Department, eh? Saya mau kamu meneruskan kerjasama kalian. Kali ini kamu harus menganalisis working hour di production section dan packaging section. Oke?”
Diluar sedang hujan. Gemuruhnya terdengar sampai ke ruangan Pak Arman. Dan lebih jauh lagi, sampai ke hati Rainy. Rainy tidak suka dengan proyeknya kali ini. Di saat dia ingin menghindari Bhaskoro, kenapa bosnya justru menempatkannya di produksi lagi?
Hujan. Selalu membawa berita buruk, gumam Rainy dalam hati. Miris.

* * *

“Gue udah memikirkan caranya, Na.”
Rainy sudah datang pagi-pagi sekali ke ruang kerja Naina, siap dengan ide dari pencerahan tiba-tiba yang diperolehnya tadi pagi ketika merenung di jamban. Gadis itu memang sering aneh, mencari inspirasi di jamban atau dapur.
“Cara apa?” jawab Naina, masih dengan mata mengantuk karena semalam baru saja menyelesaikan review 10 batch record yang akan dipakai hari ini.
“Supaya manual packaging lo cuma butuh 5 orang di line. Kita bisa menurunkan working-hour sangat signifikan.”
Ogah-ogahan, Naina mendengarkan Rainy berceloteh tentang strateginya. Tapi tiba-tiba ia memotong di tengah penjelasannya.
“Eh, Rain, besok nonton yuk. Bete nih gue. Seminggu ini dimarahin bos mulu. Besok nonton trus temenin gue belanja yuk,” Naina memotong, tidak sesuai konteks diskusi.
Rainy bengong sekilas sebelum akhirnya menjawab “Iya aja deh, biar gampang. Ke Plangi (Plaza Semanggi) lagi kan? Jam berapa?”
Naina lalu tiba-tiba jadi bersemangat menceritakan rencana film yang akan ditontonnya dan baju-baju yang ingin dibelinya. Juga parfum dan tas yang sudah diincarnya.
“Jadi, sekarang gue udah boleh balik lagi ke strategi packaging kita?” tanya Rainy, menarik kembali Naina dari dunia khayalnya di masa depan.
“Oke.”
Naina kembali tergeletak di atas meja kerjanya.
Rainy berkesimpulan, orang yang terlalu banyak bekerja, terlalu banyak belajar atau terlalu banyak dimarahi bos, kesehatan jiwanya pasti terganggu. Seperti Naina itu.



Dan hipotesis Rainy memang benar. Naina memang terganggu jiwanya. Keesokan harinya Naina tidak datang sesuai perjanjian. Rainy sudah menunggu di XXI Semanggi selama setengah jam ketika akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Naina yang tidak kunjung datang. Dan yang ditelepon ternyata baru bangun tidur, sodara-sodara sebangsa setanah air.
“Ini jam 12 siang, woy! Lo lupa kita janjian?” kata Rainy, bete.
“Oh iya, maaf ya Rain. Gue lupa. Badan gue sakit-sakit semua nih. Flu juga gue. Maaf ya, lupa bilang kalo hari ini kita batal nonton,” jawab Naina dengan suara sengau.
Rainy menatap dua tiket bioskop di tangannnya. Ah, tapi percuma juga dia marah-marah. Menunggu Naina datang juga tidak membuatnya bisa menonton dengan tiket yang sudah terlanjur dibelinya.
“Ya udah. Semoga Senin udah bisa kerja lagi ya Na.”
“Makasih ya Rain. Sekali lagi, maaf ya. Beneran gue lupa batalin janji sama lo. Maaf banget ya.”
Rainy bergumam sebentar sebelum menutup ponselnya. Well, karena tiket sudah dibeli, maka sepertinya ia terpaksa nonton sendiri. Ah, tapi dia sudah biasa melakukannya. Nonton bioskop sendirian, maksudnya. Dia hanya akan rugi selembar tiket saja.
Untung saja ketika ia mengantri memberli popcorn sebelum masuk bioskop, Rainy bertemu dengan teman kantornya yang kebetulan juga ingin menonton film yang sama tapi kehabisan tiket.
“Gue beli ya tiket Perahu Kertas lo,” kata Bhaskoro.
“Oke. Syukur deh, gue nggak jadi merugi gara-gara si Naina pikun,” jawab Rainy sambil mengulurkan selembar tiket yang tadi dibelinya untuk Naina.
Tepat ketika film akan dimulai, baru terpikir oleh Rainy. Apa hidup sedang mempermainkannya? Saat ia selalu menghindari Bhaskoro di kantor, mereka malah dipertemukan di tempat ini, berduaan pula. Permainan hidup kadang sangat tidak lucu dan sadis.



Selesai nonton, Bhaskoro mengajak Naina makan sore di salah satu resto di Sky Dining. Langit mulai gelap, bukan karena sudah petang, tapi tanda akan hujan. Rainy sudah akan melarikan diri dengan mengatakan bahwa ia ingin buru-buru pulang sebelum hujan turun. Tapi alam juga tidak mau bersekutu dengannya. Tidak lama kemudian hujan turun dengan deras.
“Pulang nanti aja. Gue anter sampe rumah setelah hujan reda,” kata Bhaskoro membujuk. “Temenin gue makan sore dulu yuk. Laper nih.”
Sebelum menunggu jawaban Rainy, Bhaskoro sudah menarik tangan gadis itu dan mengajaknya masuk ke elevator dan membawanya ke lantai 10 Plaza itu.
Karena hujan deras, mereka tidak bisa menikmati makan sore tepat di bawah langit Jakarta. Mereka memilih resto dengan kanopi sehingga mereka tetap bisa menikmati suasana outdoor tanpa kebasahan.
“Si Naina kenapa nggak jadi janjian sama lo?” tanya Bhaskoro memulai, setelah mereka memesan seporsi lasagna, semangkok cream soup dan dua gelas lemon tea.
“Lagi sakit. Sakit jiwa tuh anak, kebanyakan kerja.”
Bhaskoro tertawa. Diantara hujan selebat itu, tawa lelaki itu benar-benar menghangatkan seperti matahari.  Rainy merasa wajahnya menghangat.
“Sayang ya nggak ada Naina,” kata Rainy, pahit.
“Biarin aja. Dia perlu istirahat mental.” Lalu Bhaskoro tertawa.
Rainy balas tertawa canggung.
“Eh, gue baru download lagu bagus. Dengerin deh.” Bhaskoro mengeluarkan ponselnya, memasang salah satu earphone di telinga kirinya dan yang lainnya di telinga kanan Rainy.
“Lagu siapa?” tanya Rainy, mengatur suaranya supaya terdengar tenang, padahal jantungnya sangat berdebar-debar menghadapi sikap manis Bhaskoro yang seperti di drama-drama Korea yang ditontonnya.
“Penyanyi indie asal Bandung. Lo mungkin nggak kenal. Tapi gue suka sama lagu-lagunya. Dengerin deh. Bagus banget.”

Tenggelam, memburai mimpi
Sinarnya yang hampir padam
Terpapah dan tanpa arah
Biarkan harapan musnah

Hening membersit makna
Tangisan yang tak terlihat
Menuntun jejak yang rapuh
Tinggalkan perih tersisih

“Ini duet?” tanya Rainy.
Dia langsung suka dengan lagu itu. Baik suara penyanyi wanita dan lelakinya sama-sama bagus. Dan sangat cocok dengan suasana hujan saat itu. Rainy juga suka pada pemilihan diksi lirik-liriknya.
“Yang laki-laki namanya Fiersa. Suara perempuan itu Vica,” Bhaskoro memberi tahu.
“Apa judulnya?”
“Edelweiss”
Selera musik Bhaskoro memang tak biasa, tapi Rainy menyukainya. Bahkan setelah lagunya habis, Rainy meminta Bhaskoro mengulang lagunya. Sambil tersenyum, lelaki itu menuruti permintaan gadis di hadapannya.
Kali ini Rainy mendengarkan tiap liriknya dengan seksama. Dan merasa jiwanya tersedot ke dalam lagu itu.

Bagaimana bila kuterjatuh?

Mata Rainy tiba-tiba bertemu dengan mata Bhaskoro.

Takkan kulepaskan genggamanku

Rainy melihat Bhaskoro menggerakkan bibirnya, mengikuti lirik yang dinyanyikan Fiersa, si penyanyi lelaki.

Bagaimana bila hatiku hancur?

Lalu pada lirik berikutnya, Bhaskoro bernyanyi dengan berbisik:

Tak kubiarkan itu terjadi

Hujan berhenti perlahan. Tersisa rintik-rintik kecil. Rainy kini bisa mendengar lagu itu dengan lebih jelas. Begitu juga dengan suara Bhaskoro.
Pelan-pelan lelaki itu menyentuh tangan Rainy, menggenggamnya dan melanjutkan bernyanyi:

Dunia takkan selamanya memalingkan wajah
Bawa aku pergi bersamamu tuk melihat
Gunung tertinggi, laut terdalam
Langit terindah, dan berjanjilah
Kau dan aku takkan terpisah

Rainy terpaku. Tidak tahu harus berbuat apa. 
“Gue suka sama lo, Rain,” kata Bhaskoro ketika lagu berjudul Edelweiss itu selesai diputar untuk kedua kalinya.
Gadis hujan itu diam. Terdiam cukup lama. Bingung. Dan membuat lelaki matahari ikut bingung menafsirkan.
“Bukannya lo suka sama Naina?”
Akhirnya Rainy bersuara dan menanyakan hal yang membuat Bhaskoro makin bingung. Lelaki itu melongo.
“Bukannya lo suka sama Naina?” Rainy mengulang, “Selama ini lo sering ngajak gue jalan-jalan supaya gue bisa nemenin lo pedekate ke Naina kan?”
Bhaskoro tertawa tertahan. Untung disitu banyak pengunjung lainnya sehingga Bhaskoro terpaksa mengontrol tawanya. Kalau tidak ada orang lain, dia pasti sudah tertawa sambil berguling-guling.
“Pantesan waktu itu lo nolak gue,” kata Bhaskoro.
“Hah?” Rainy melongo, tidak mengerti. Kapan dia pernah menolak Bhaskoro? Mendengar pernyataan cinta lelaki itu saja belum pernah.
“Selama ini justru gue minta tolong Naina mencomblangi kita, menemani kita supaya gue nggak canggung ngobrol sama lo. Lo salah paham, Rain,” Bhaskoro menjelaskan.
Rainy terpana, diam.
“Jangan-jangan, lo nggak sadar waktu gue nembak lo ya?”
“Hah?”
“Waktu gue bilang supaya ada pelangi, matahari harus bertemu dengan hujan, lo nggak ngerti maksudnya?”
“Maksudnya? Pelangi kan memang terbentuk karena tetesan air membiaskan ....”
“Jangan pakai teori fisika deh. Gue bego soal fisika nih,” potong Bhaskoro cepat sambil tersenyum geli. “Maksud gue waktu itu, tiap gue ketemu lo, hari-hari gue selalu berwarna-warni, kayak pelangi. Matahari ...”
Bhaskoro menunjuk dirinya.
“ ... harus bertemu hujan ...” lalu lelaki itu mempererat genggamannya pada tangan gadis di hadapannya, “ ... supaya ada pelangi. Cuma di mata hujan, gue bisa lihat pelangi.”
Mata Rainy membesar dan berkaca-kaca.
“Kayak sekarang ini. Lihat deh, ada pelangi.”
Bhaskoro menunjuk satu sisi langit. Melengkung beberapa baris warna di cakrawala. Pelangi. Kata pepatah, setelah hujan selalu ada pelangi. Pepatah itu kurang lengkap. Seharusnya: setelah hujan, asalkan ada matahari, pasti akan terlihat pelangi. Tidak akan ada pelangi tanpa hujan. Tidak akan ada juga tanpa matahari. Harus ada keduanya, barulah ada pelangi.
Bhaskoro memutarkan lagu duet Fiersa-Vica sekali lagi di ponselnya. Dan mereka berdua mendengarkannya bersama melalui earphone.


Rainy menggerakkan bibirnya dengan mata masih berkaca-kaca, terharu.

Bagaimana bila kuterjatuh?

Bhaskoro menjawabnya:

Takkan kulepaskan genggamanku

Rainy meniru suara merdu Vica:

Bagaimana bila hatiku hancur?

Bhaskoro membelai lengan Rainy dan berkata:

Tak kubiarkan itu terjadi

Mata bertemu mata. Matahari bertemu hujan. Rainy tidak pernah lagi menyesal menjadi hujan. Karena dia memang harus menjadi hujan supaya ketika bertemu si matahari, mereka bisa bersama menciptakan pelangi.

Dunia takkan selamanya memalingkan wajah
Bawa aku pergi bersamamu tuk melihat
Gunung tertinggi, laut terdalam
Langit terindah, dan berjanjilah
Kau dan aku takkan terpisah

“Jadi istri gue ya?”



Mungkin bagi beberapa orang, hujan datang membawa kenangan.
Bagi beberapa yang lain, hujan menawarkan masa depan.
Apa kamu siap meraihnya?


* * *







Sambil membaca cerpen di atas, kamu bisa mendengarkan lagunya kang Fiersa Besari feat Vica yang jadi inspirasi cerpen ini.

http://soundcloud.com/fiersa/edelweiss

Selamat membaca dan mendengarkan.





1 komentar: