Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Sabtu, 10 Agustus 2013

ALEX DAN RORA

“Haish, fotonya nggak bagus. Kita ulang lagi.”
Gadis itu memperlihatkan gambar yang terambil di kamera ponselnya kepada seseorang yang duduk di sampingnya.
“Apanya yang nggak bagus, Rora?”
“Lo merem nih, Lex.”
Orang yang bernama Alex itu manyun. “Lo juga jangan menggembungkan pipi begitu saat difoto. Maksudnya biar lucu ya?”
Sekarang Rora yang gantian manyun sambil memukul bahu Alex. Tapi yang dipukul justru tertawa terbahak dengan puas. Rora suka melihat warna wajah Alex yang kemerahan saat tertawa. Mungkin itu karena kulit Alex yang sangat putih.
“Sini, kita foto lagi.”
Rora menyiapkan ponselnya, menghadap ke arah mereka dengan kemiringan empat puluh lima derajat seperti kebiasaan para anak alay masa kini. Dengan malas, Alex mengikuti keinginan Rora.
Rora melihat layar ponselnya dan mendapati hanya separuh wajah Alex yang tertangkap di dalamnya.
“Sini mendekat! Muka lo nggak kelihatan, Lex,” kata Rora, susah payah menjauhkan ponselnya supaya bisa menangkap wajah Alex juga.
Agak malas, tapi tidak tega melihat Rora, Alex mengambil ponsel itu dari tangan Rora. Tangannya lebih panjang dari tangan gadis itu sehingga tidak perlu bersusah payah mengatur jarak kamera. Ia melihat ke layar ponsel, mendekatkan duduknya kepada Rora dan merangkul gadis itu supaya wajah mereka berdua tertangkap kamera ponsel.
Alex melirik Rora yang sedang memasang gaya andalannya, membentuk “victory” dengan kedua jarinya. Kelakuan gadis itu tidak pernah berubah. Ia tersenyum. Lalu menekan ikon kamera di ponsel itu.
Rambut ikal dan rambut lurus. Si hitam dan si putih. Si mata besar dan mata kecil. Utara dan selatan.



Bagaimana dua orang yang berkebalikan bisa bersahabat? Kau bisa bertanya pada Alex dan Rora. Mereka adalah dua makhluk yang sangat berbeda. Nyaris dalam segala hal. Rora sangat banyak cakap, dan juga banyak gaya. Dan meskipun Alex bukan orang yang pendiam, tapi dia memang lebih tenang dan pasif. Tapi toh mereka tahan bersahabat selama bertahun-tahun.
Sejak kuliah sampai masing-masing sudah bekerja, mereka tetap terus berhubungan dengan intensitas yang tidak juga menurun. Tidak ada tips khusus untuk mempertahankan persahabatan dengan banyak perbedaan. Yang mereka lakukan bukan mengabaikan perbedaan, tapi justru menyadari perbedaan masing-masing.

*               *               *
Rora sibuk menyeruput kuah baksonya sambil terus-terusan menyeka air mata dan menyusut ingusnya. Pemandangan ini membuat Alex merasa heran sekaligus jijik.
“Lu ngapain sih Ra? Mau makan apa nangis?” tegur Alex dengan wajah mengernyit.
“Pedas, tahu!” Rora menyergah. Tidak peduli pada protes sahabatnya, dia meneruskan gaya makannya yang menjijikkan itu.
Alex penasaran melihat kuah di mangkuk bakso Rora. Jelas warnanya kontras dengan kuah bakso di mangkoknya sendiri yang berwarna merah menyala. Mengabaikan rasa jijiknya, ia nekat menyendok kuah bakso gadis dihadapannya dan mencecapnya.
Ini mah apanya yang pedas sih?
“Ke dokter sana, Ra. Indera pengecap lo udah rusak kali. Ini manis banget.”
Tampak kikuk sesaat, tapi Rora tidak mengalihkan tatapannya dari mangkok baksonya. Dia terus menunduk, menekuri mangkoknya dan terus menyuap. Air mata terus mengalir di pipi-pipinya. Gadis itu mengabaikan komentar Alex. Hal itu membuat Alex curiga.
“Jangan makan sambil terus-terusan buang ingus, ah. Jorok banget lo!” tegur Alex lagi. “Pantesan lo belum punya pacar juga.”
Kali itu Rora tertawa kaku.
“Iya. Pantas aja nggak ada cowok yang naksir gue.”
Alex merasa Rora sedang menertawakan diri sendiri. Hal itu sama sekali bukan gaya Rora. Ada yang salah dengan anak ini, pikir Alex.




Sudah lama mereka tidak menginjakkan kaki ke tempat itu sejak mereka lulus kuliah. Yap! Kampus mereka. Kali itu Alex mengajak Rora kembali kesana selepas acara makan bakso yang menjijikkan itu.
Kampus mereka adalah kampur terkenal di bilangan Depok. Tidak hanya terkenal karena mahasiswanya konon kabarnya adalah mahasiswa-mahasiswa paling pintar di Indonesia, tapi juga terkenal karena luas kampusnya yang tidak masuk akal. Alex sendiri belum menemukan kampus lain di Indonesia yang memerlukan kendaraan untuk mengelilingi seluruh fakultasnya. Saat masih menjadi mahasiswa, Alex pernah mengelilingi kampus dengan jogging. Dia melakukannya selama seminggu, dan berat badannya naik 2 kg. Mengapa? Karena luas kampusnya yang tidak masuk akal, Alex terus-terusan merasa perlu bersitirahat selama jogging. Dan tiap bersitirahat, dia menemukan tukang penjual makanan. Maka ia makan demi mengembalikan vitalitasnya. Tidak heran kalau berat badannya justru meningkat.
Bagaimana kampusnya bisa seluas itu? Ada banyak danau di kampus itu. Dan salah satunya adalah tujuan Alex membawa Rora kali itu. Pada akhir pekan, danau-danau di kampus itu memang banyak dikunjungi orang-orang, bukan hanya mahasiswa universitas itu. Beberapa keluarga bahkan menggelar tikar di pinggir danau. Tapi lebih banyak lagi pasangan kekasih.
Rora tertawa setibanya di pinggir danau. Sudah lama dia tidak melihat danau ini. “Apa lo ngajak gue ke sini buat pacaran?”
Alex menggendikkan bahu dengan cuek. “Udah lama kita nggak pacaran disini.”
Rora berlari bersemangat ke arah danau. Alex memerhatikannya sambil berjalan perlahan mendekat. Gadis itu merentangkan tangan seperti anak kecil yang kesenangan diajak orangtuanya berwisata kesana.
“Kenapa lo tiba-tiba ngajak gue kesini?” tanya Rora, menoleh. Rambut ikalnya berkibar indah saat kepalanya berpaling. Membuat Alex terkesima sesaat.
Alex kemudian duduk di hamparan rumput, tidak jauh dari tempat Rora berdiri. “Gue pikir, daripada lo nangis-beringus di atas mangkok bakso, mending lo nangis disini.”
“Eh?”
“Gue tahu lo lagi patah hati lagi.”
Wajah Rora berubah. “Emang ketahuan jelas ya?”
“Elu kan kalo lagi pengen nangis pasti ngajak ke bioskop nonton drama sedih, atau makan bakso setan tadi. Yang gue nggak ngerti, itu bakso setan cuma level satu tapi lo nangisnya ngalahin gue yang level sepuluh.”
Gadis itu nyengir miris. Dia menghampiri Alex dan duduk membelakanginya. Punggung bertemu punggung.
“Lo benar,” kata Rora kemudian.
“Gue selalu benar,” balas Alex. Biasanya dia mengatakan hal itu dengan nada bangga. Tapi kali itu dia tidak bangga bahwa terkaannya benar. “I’ve told you. He’s a gay.”
Rora hanya diam. Tapi kemudian beberapa saat kemudian Alex merasa punggungnya bergerak naik-turun. Rora gemetar, menangis tanpa suara.
“Lain kali jangan buru-buru jatuh cinta setengah mati kalo lo belum yakin dengan orang yang jatuhi cinta.”



Ini bukan pertama kalinya Rora menangisi lelaki. Bukan pertama kalinya pula Alex meminjamkan punggungnya untuk Rora bersandar. Pernah ada Doni yang menghianatinya. Ada Indra yang menjadikannya selingkuhan. Sebelum ini ada Mike yang menggantungkannya nyaris selama 3 tahun. Dan yang terakhir ini adalah lelaki baik-baik berusia 10 tahun lebih tua ini, yang kebetulan juga adalah bos Rora. Rora mengira bahwa pencariannya akhirnya menemukan jawabannya. Tapi dia lupa satu pepatah: Kalau ada lelaki baik-kaya-tampan-pintar yang masih single di atas usia 30 tahun, kau patut curiga dia unavailable.
Alex sudah memperingatkan Rora kali ini. Sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki pujaan Rora itu, Alex sudah menyadari bahwa lelaki ini berbeda dengan ketiga lelaki yang pernah dekat dengan Rora.



“Gue selalu suka bersandar di punggung lo. Apa gue pernah bilang itu?” kata Rora saat tangisnya reda. Tubuhnya lebih pendek daripada Alex sehingga ketika mereka duduk saling memunggungi, kepalanya tepat berada di balik bahu Alex. Ia selalu merasa nyaman meletakkan kepalanya di bahu itu.
“Sampai bosan gue mendengarnya,” Alex mendengus. Tapi ia menyimpan senyum gelinya.
Rora mendesah. “Rasanya gue takut jatuh cinta lagi.”
“Jangan takut,” jawab Alex tenang.
“Gue takut nggak bisa bangun lagi kalo jatuh sekali lagi.”
“Ada gue.”
“Apa?”
“Kalau lo belum siap bangun, ada punggung gue yang menemani lo duduk.”
“Lex ...”
“Kalau lo udah siap berdiri, ada tangan gue yang membantu.”
Rora terdiam.
“Kalau lo udah siap berlari, ada kaki gue yang berlari bersama lo.”
Rora menengadah menatap langit. Kepalanya masih bersandar di bahu Alex. Dia mendesah. “Harusnya gue emang pacaran sama lo aja.”
Kali ini Alex tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, meski ia masih dapat mengontrol suaranya, mengingat mereka bukan satu-satunya yang berada di tepi danau itu.
“Baru sadar sekarang?” kata Alex menyindir.
“Bodoh ya gue? Kalau gitu, sekarang kita pacaran?”
Alex tertawa. Punggungnya bergoncang. Rora membalasnya dengan tawa yang sama.


*               *               *


Ada yang bilang you never know what you have until you lose it. Sebenarnya tidak tepat begitu. We always know what we have. We just never think that we would lose it.
Rora sadar bahwa Alex selalu bersamanya. Tapi dia tidak pernah sadar bahwa dia bisa saja kehilangan Alex. Alex bukan miliknya.
“Gue sudah menemukannya, Ra. Orang yang gue ingin menghabiskan hidup dengannya selamanya,” kata Alex hari itu.
Rora terpaku. “Serius?”
Serius? Selama ini Alex tidak pernah menunjukkan dia bisa jatuh cinta kepada orang lain.
“Serius. Belum pernah gue seyakin ini.” Alex menjawab dengan mantap.
Rora tertegun. Akhirnya hari ini tiba juga.
“Kenapa bengong?” Alex menjentikkan jarinya di depan wajah Rora yang termangu. Rora hanya tersenyum.
“Lo patah hati ya?” Alex mengejek.
“Iya,” jawab Rora singkat.
Alex tertawa. Gadis ini pintar beracting.
Tapi Rora tidak balas tertawa. Ia masih terus memandang Alex. Lama-lama Alex risih dan berhenti tertawa.
“Hei Rora! Ekspresi lo bikin gue takut.”
“Kenapa?”
“Orang bisa mikir bahwa lo cinta beneran sama gue dan patah hati beneran.”
“Memang kelihatan seperti bohongan?”
Stop it, Ra,” Alex tertawa sambil menggebahkan tangannya.
“Memangnya ada pacar yang nggak patah hati kalau pacarnya mau kawin sama orang lain?”
Come on! Stop playing around, Ra! Jangan bikin gue takut,” kata Alex, “Kita selama ini bersahabat. Kakak-adik. Nggak mungkin lo punya ekspektasi lebih kan?”
Rora memberi pandangan yang membuat Alex takut. Tapi beberapa detik kemudian gadis itu tertawa.
Ia bangkit dari duduknya dan memukul pelan lengan Alex dengan sebuah kertas berwarna merah di tangannya.
“Serem banget muka lo. That’s why I enjoy playing with your mind,” kata Rora sambil melangkah pergi. “Mau minum apa? Gue ambilin.”
Terpaku sesaat, namun kemudian Alex tertawa ketika menyadari bahwa Rora sedang menakut-nakutinya.
“Apa aja,” jawab Alex.
Rora beranjak ke dapurnya. Sebelum membuatkan minum untuk Alex, ia membaca sekali lagi kertas berwarna merah di tangannya. Undangan pernikahan.
Alex dan Denise.
Dan sebuah foto disana. Keduanya berkulit putih, berambut lurus dan bermata kecil.
Rora tertawa miris.
Kakak-adik? Cih!


*               *               *

Diantara milyaran manusia di muka bumi, pasti ada orang yang hatimu terkait dengannya sejak awal. Kadang adalah orang yang memiliki banyak kesamaan denganmu. Kadang justru orang yang sangat berbeda denganmu. Kadang justru dengan demikian kalian seperti potongan puzzle yang bentuknya berkebalikan tapi justru sangat “pas” saat berpasangan.
Rora dan Alex memiliki banyak perbedaan: sifat, gaya, hobi, warna kulit, ras, dan bahkan agama. Mereka hanya memiliki satu kesamaan.
“Gue nggak pernah sadar lo secantik ini,” Rora melangkah memasuki ruang rias pengantin dan mendapati seorang wanita dalam gaun putih gading berdiri lima meter di hadapannya. Wanita itu berkulit putih dan bermata kecil. “Alexandra!”
“Hai Rora!”
Mereka hanya memiliki satu kesamaan. Jenis kelamin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar