Makrofag
merupakan salah satu sel yang memiliki peran penting dalam sistem imun/
pertahanan tubuh kita. Sel ini awalnya dinamai makrofag karena ukurannya yang lebih
besar daripada sel-sel lain (makros) dan kemampuannya untuk “memakan” (phagein)
“benda asing” dalam tubuh, bukan hanya mikroba patogen yang menginvasi tubuh
kita, tapi juga termasuk ”sel asing” seperti sel tumor misalnya. Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan, kemudian diketahui bahwa, tidak seperti saya
yang cuma bisa makan melulu, peran makrofag ternyata bukan hanya sekedar
makan-memakan saja. Bukan hanya terkait inflamasi dan penyakit infeksi, kini
banyak penelitian yang menunjukkan peran makrofag dalam regulasi
penyakit-penyakit seperti osteoporosis, aterosklerosis, obesitas dan diabetes,
serta fibrosis.
Dari
sini rasanya kita harusnya sadar bahwa kebenaran-kebenaran yang kita ketahui
pada awalnya, tidak selamanya benar. Seperti halnya dulu orang-orang percaya
bahwa bumi ini datar, lalu menertawakan orang-orang yang berpendapat bumi ini bulat,
sampai akhirnya terbukti bahwa bumi ini bulat. Kadang kita mungkin juga begitu.
Hanya karena merasa pendapat kita benar, lalu kita menyalah-nyalahkan pendapat
orang lain yang berbeda dengan kita. Padahal hanya karena kita
benar, bukan berarti orang lain salah kan? Hidup kan bukan soal ujian pilihan
ganda dimana hanya ada satu pilihan benar. Dalam hidup, kadang adalah lebih
dari satu pilihan benar. Itu mengapa hidup lebih sulit daripada SBMPTN, karena
kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang benar, namun kita tetap harus
memilih mana yang lebih sesuai dengan kondisi kita. Lebih jauh, kebenaran yang
kita ketahui sekarang mungkin hanya sebagian kecil dari kebenaran yang lebih
besar. Seperti halnya kita yang awalnya mengira makrofag hanya bisa “makan-memakan”,
ternyata makrofag memiliki peran yang jauh lebih luas daripada itu. Dengan
menyadari hal ini rasanya kita akan lebih hati-hati menilai orang lain, dan
tidak dengan mudah menyalah-nyalahkan orang lain. Lagipula, menyalah-nyalahkan
orang lain nggak membuat orang itu mau mengikuti kebenaran kok. Katanya,
menyampaikan kebenaran dengan cara yang salah hanya akan menimbulkan kebencian
kepada kebenaran tersebut.
Dari sekian banyak peran makrofag dalam
regulasi tubuh kita, kali ini saya cuma akan membahas peran makrofag dalam
proses perbaikan jaringan dan fibrosis. Saat sel/ jaringan terluka, tubuh kita
memiliki mekanisme untuk menghancurkan penyebab
dan akibat luka tersebut, kemudian memperbaiki jaringan yang luka tersebut. Mekanisme
ini diketahui kemudian turut melibatkan makrofag. Luka pada sel atau jaringan
tubuh bisa disebabkan banyak hal. Merokok, misalnya, bisa melukai sel
paru-paru. Atau alkohol dan kadar lemak
tinggi menyebabkan kerusakan pada sel hati (liver). Atau masa lalu yang buruk
bisa menyebabkan luka pada hati #halah #nyambungBanget. Kalau dipikir-pikir
lagi, kadang kita sendiri yang melukai diri kita sendiri ya?
Berdasarkan beberapa penelitian
diketahui ada beberapa fenotip makrofag. Secara garis besar, ada dua fenotipe
makrofag: M1 dan M2. Secara sederhana, makrofag M1 berperan dalam proses
inflamasi dan makrofag M2 berperan dalam proses perbaikan jaringan. Saat sel/
jaringan rusak/ terluka (dalam, dan tak tahu arah jalan pulang #ngok) maka
makrofag M1 ini akan memicu proses inflamasi: pasokan darah meningkat ke area
luka, membawa sejumlah besar sel imunitas untuk menghancurkan penyebab luka
(misal mikroba) dan membersihkan jaringan (dari debris). Setelah proses
menghancurkan, makan-memakan dan membersihkan ini, jaringan yang luka namun
telah bersih ini perlu diperbaiki. Di tahap inilah makrofag M2 berperan untuk
menghasilkan matriks ekstraselular (ECM), terdiri dari protein-protein pembentuk
jaringan, seperti kolagen dan fibronektin. Setelah jaringan berhasil
diperbaiki, kelebihan kolagen yang terbentuk akan dihancurkan oleh fenotip
makrofag yang lain (akan dijelaskan kemudian) sehingga jaringan kembali ke
bantuknya semula. Kalau teman-teman sulit membayangkan kejadian ini,
bayangkanlah masa SD kita dulu, saat kita jatuh bermain galasin dan menyebabkan
lutut kita terluka. Saat lutut terluka dan berdarah, sel-sel imun akan
berdatangan bersama darah tersebut ke tempat luka di lutut kita. Lalu dalam
beberapa hari pertama luka di lutut kita akan nampak bernanah. Saat itu,
makrofag M1 sedang menghasilkan zat-zat proteolitik untuk menghancurkan infeksi
bakteri pada luka kita. Sisa dari bakteri yang hancur tadi itulah yang kita
lihat sebagai nanah. Setelah semua bakteri terbunuh, barulah bekas luka itu
pelan-pelan tertutup kembali. Saat itu makrofag M2 sedang menghasilkan kolagen,
fibronektin dan beberapa protein lain yang dapat memperbaiki struktur jaringan
kulit. Pada tahap ini di kulit kita akan muncul bekas luka (sebut saja namanya
“koreng”) yang sebenarnya merupakan akumulasi ektraselular matriks di kulit.
Namun setelah memasuki fase penyembuhan, kelebihan ECM ini akan dihancurkan
sehingga kulit kita mulus kembali.
Kira-kira begitulah yang terjadi dalam
tubuh kita. Setiap ada serangan pada sel/ jaringan tubuh kita, sebenarnya tubuh
kita memiliki mekanisme untuk memperbaiki dirinya sendiri. Namun, jika luka
tersebut terjadi berulang-ulang (misal karena merokok terus menerus, atau makan
gorengan terus-terusan, atau mabok-mabokan), mekanisme pertahanan tubuh dan
perbaikan diri itu menjadi terganggu. Pada luka akut, terdapat keseimbangan
antara pembentukan kolagen (untuk perbaikan diri) dan penghancuran kolagen yang
berlebih. Namun jika terjadi luka kronis yang terus-menerus, makrofag akan
bekerja terus menerus untuk menghancurkan dan memperbaiki diri, sampai pada
suatu tahap dimana terjadi ketidakseimbangan dalam proses pembentukan dan
penghancuran kolagen. Makrofag M2 akan terus-terusam memproduksi ECM (kolagen)
secara berlebihan. Pernah lihat bekas luka di kulit yang membentuk keloid?
Kira-kira seperti itu gambarannya saat terjadi akumulasi ECM di organ.
Bayangkan kalau keloid semacam itu terjadi di paru-paru kita, maka akan menutup
alveoli dan menyebabkan gangguan fungsi paru-paru. Bayangkan kalau akumulasi
ECM tersebut ada di liver kita, maka akan menyebabkan rusaknya fungsi liver.
Fase akumulasi ECM di organ inilah yang disebut fibrosis. Pada fase yang lebih
parah, fibrosis liver bahkan dapat menyebabkan sirosis atau kanker liver. Jadi
sekarang kita jadi paham kan kenapa hati yang disakiti berkali-kali (kronis)
bisa jadi kaku kayak kanebo kering?
Belakangan diketahui bahwa terdapat
beberapa subtipe makrofag M2: M2a, M2b dan M2c, ditinjau dari faktor pemicu dan
produk (jenis sitokin) yang dihasilkan. Satu hal yang sama bisa memicu
munculnya fenotipe makrofag yang berbeda jika kondisi lingkungan/ jaringan
berbeda. Seperti halnya orang yang sama bisa jadi menunjukkan sikap yang berbeda
saat berada di lingkungan yang berbeda (misal kalau di depan gebetan gayanya
jadi jaim). Hal ini yang menyebabkan pembagian fenotipe makrofag hanya sebagai
M1 dan M2 dirasakan kurang tepat, karena makrofag M1 yang bersifat
pro-inflamasi ternyata juga berperan dalam fase penyembuhan (degradasi kolagen
yang berlebihan), namun masih memiliki sifat-sifat makrofag M2. Oleh karena itu
belakangan dirasa lebih tepat untuk mengenali makrofag berdasarkan sifatnya,
yaitu makrofag pro-inflamasi, makrofag pro-fibrosis dan makrofag pro-resolusi.
Maka bukankah begitu harusnya kita
mengenali sesama manusia? Bukan hanya dari ras, suku, agama, warna kulit dan
status sosial kan? Tapi berdasarkan sifatnya. Setiap orang bisa jadi jahat atau
baik, apapun ras, suku, agama, warna kulit dan status sosialnya. Bahkan
makrofag M2 yang awalnya berperan baik untuk memperbaiki jaringan, bisa jadi
“tokoh antagonis” saat memproduksi kolagen secara berlebihan. Dan sebaliknya
makrofag M1 yang menyebabkan inflamasi/ peradangan, pada waktu/ fase yang
berbeda bisa menjadi “tokoh protagonis” dengan mendegradasi akumulasi kolagen
yang berlebihan pada organ. Maka rasanya perlu disadari bahwa setiap manusia
punya sisi baik dan buruk.
Makrofag dalam konteks fibrosis,
seperti halnya wanita, sampai saat ini masih sulit dimengerti. Menghambat makrofag
pada fase inflamasi terbukti mencegah fibrosis, namun menghambat makrofag pada
fase resolusi justru memperparah fibrosis. Di sisi lain, mengaktivasi makrofag
pada fase resolusi diduga prospektif untuk menyembuhkan fibrosis. Jadi, untuk
menyembuhkan fibrosis, harusnya makrofag dihambat atau diaktivasi?
Kompleksitas yang terjadi pada sistem
pertahanan tubuh kita ini rasanya mengingatkan saya pada kompleksitas kehidupan
kita sendiri, yang kadang ditampilkan dengan riil pada drama Korea #teuteup. Kalau
diperhatikan, pada setiap drama Korea (tidak seperti sinetron Indonesia yang
peran protagonisnya seperti orang tolol dan peran antagonisnya bikin setan
merasa tersaingi kejahatannya), semua peran di drama Korea memiliki sisi baik
dan sisi jahat. Porsinya mungkin tidak sama besar, tapi bahkan kejahatan yang
dilakukan oleh si peran antagonis tidak jarang disebabkan oleh alasan yang
baik. Sering juga suatu tindakan dianggap baik atau baik tergantung dari sudut
pandang kita dalam melihatnya. Misalnya seorang guru yang disiplin bisa dilihat
sebagai guru yang galak, tapi bisa juga dilihat sebagai guru yang tegas. See?
Galak dan tegas bedanya hanya sejauh cara kita memandangnya kan? Maka
percayalah bahwa setiap orang jahat pasti memiliki sisi baik. Dan ingatlah
bahwa pada setiap hal buruk yang dilakukan, mungkin ada alasan yang tidak kita
mengerti. Atau misalnya kenapa bisa ada anak yang tidak berbakti kepada
orangtuanya? Bisa jadi karena standar bakti anak dan orangtua berbeda. Misalnya
orangtua berpikir bahwa bakti anak harus direalisasikan dengan memberi uang
bulanan yang cukup, sementara gaji anaknya saja nggak cukup untuk memberi makan
anak-istrinya, maka tentu di mata orangtua ini si anak adalah anak yang tidak berbakti
kan?
Meski
begitu, tulisan saya ini bukan menjadi justifikasi untuk membenarkan yang
salah. Tentu setiap kesalahan harus dihukum dan diperbaiki (karena kesalahan
yang tidak dihukum akan membuat orang lain menganggap itu suatu kebenaran, lalu
melakukan kesalahan yang sama), namun beratnya hukuman tentu harus
mempertimbangkan hal-hal lain yang mungkin tak kasat mata. Hanya karena masih
kecil, bukan berarti murid SD yang mencuri bekal makan siang temannya, lalu ia
tidak dihukum. Anak tersebut tetap harus dihukum agar dia tahu bahwa yang
dilakukannya salah dan dia tidak mengulangi kesalahannya. Tapi bagaimana cara
menghukumnya? Perhatikan dulu mengapa dia harus mencuri bekal makan siang
temannya. Jangan-jangan karena dia memang kelaparan dan berasal dari keluarga yang
kurang mampu. Jika begini, maka memukul atau mengeluarkannya dari sekolah
bukanlah hukuman yang tepat, karena penyebab ia menjadi pencuri bukan karena
dia ingin mencuri, tapi karena dia terpaksa mencuri karena lapar. Maka
mengatasi kemiskinan keluarga si anak, dengan memberdayakan orangtuanya,
mungkin adalah cara yang lebih baik untuk menghukum. Hmmm,, tiba-tiba saya jadi
ingat ada kalimat ini “Kefakiran itu dekat dengan kekufuran.”
Begitu juga dalam mengobati suatu
penyakit, bukan hanya menghilangkan penyakit yang sudah terjadi, tapi juga
harus disertai dengan menghambat penyebab terjadinya penyakit tersebut kan?
Maka menyembuhkan hati yang luka juga mungkin begitu caranya ... bukan hanya
dengan memulai hubungan baru, tapi juga dengan menghambat ingatan-ingatan
menyakitkan di masa lalu. Ah tapi namanya juga manusia (seperti juga orang yang
masih merokok dan mabuk-mabukan meski tahu itu bahaya), suka sekali menyakiti
diri sendiri, lalu berharap dikasihani dan disembukan oleh orang lain.
Kalau sudah begini, saya tidak lagi
bisa mengerti mengapa masih ada orang yang tidak mempercayai Tuhan. Bahkan
dengan mempelajari satu sel makrofag saja, saya bisa mempelajari lebih banyak
hal. Bukankah kalau mereka mau “membaca” semesta, harusnya mereka sadar bahwa
tidak mungkin berkeras hati tidak mengakui keberadaan Tuhan?
Bagi yang ingin mengenal makrofag lebih dalam, silakan membaca artikel ini http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fmed.2015.00081/full