Menjadi
tua adalah kepastian. Menjadi dewasa adalah pilihan.
Begitu kata orang bijak. Dan rasanya
semua orang tahu tentang kata-kata ini. Tapi saya pribadi sebenarnya nggak 100%
setuju dengan kalimat ini. Saya setuju bahwa menjadi tua itu pasti. Tidak ada
orang yang dari hari ke hari menjadi lebih muda, setidaknya dari segi usia,
kecuali kalau dihitung mundur dari akhir usianya. Tapi apa benar bahwa menjadi
dewasa adalah pilihan? Untuk pernyataan yang ini saya nggak sepenuhnya setuju.
Menurut saya, kadang menjadi dewasa bukanlah pilihan, melainkan tuntutan/
kewajiban. Kita dituntut untuk menjadi dewasa, atau kita akan dianggap tidak
sopan. Kita wajib menjadi dewasa, atau kita dianggap tidak kompeten. Kita harus
bersikap dewasa, atau kita akan dilabeli kekanakan. See? Kadang kita memang tidak punya pilihan lain selain terus
berusaha menjadi lebih dewasa kan?
Ingat nggak, waktu kita masih kecil
dulu, betapa kita ingin segera menjadi orang dewasa. Betapa kita nggak suka
kegiatan kita dibatasi karena kita masih anak-anak. Betapa kita dulu ingin
segera tumbuh besar, supaya tidak ada lagi yang menganggap kita anak-anak.
Supaya tidak ada lagi yang melarang kita pergi kemanapun atau melakukan apapun.
Supaya
boleh pulang malam. Supaya boleh jalan-jalan ke mall atau nonton ke bioskop.
Atau supaya kita boleh pacaran. Lucu ya, dulu kita pernah punya pikiran seperti
itu, ingin cepat dewasa untuk alasan-alasan itu.
Tapi
yang lebih lucu lagi, setelah kita menjadi orang dewasa (setidaknya ditinjau
dari segi usia), kadang kita ingin kembali menjadi anak-anak. Anak-anak yang
bebas bermain tanpa harus mikir nyari uang untuk beli mainan. Anak-anak yang
masalah terbesarnya hanyalah PR Matematika, bukannya perhitungan kredit rumah
di bank. Anak-anak yang sibuk mengumpulkan tazos
dari makanan ringan berMSG lalu tiba-tiba berhenti membelinya karena mendengar
teori konspirasi bahwa dengan MSG bikin bego, dan bukannya mikirin teori
konspirasi tentang harga cabe dan harga BBM. Anak-anak yang berkutat dengan
intrik dan trik untuk memenangkan permainan galasin atau game Mario Bross, dan bukannya intrik persaingan antar rekan kerja.
Anak-anak yang musuh terbesarnya adalah guru Fisika yang memberi banyak PR,
bukan bos yang memerintahkan membangun candi Borobudur dan waduk Jati Luhur dalam
semalam.
Lucu
bahwa saat kita kecil dulu kita merasa bahwa hal-hal itu adalah masalah besar,
dan berpikir seandainya saja kita sudah dewasa maka kita akan bisa menghadapi
semua masalah itu dengan lebih mudah. Tapi kenyataannya, jumlah dan beratnya masalah
yang datang berbanding lurus dengan usia kita. Seiring bertambahnya usia,
permasalahan yang hadir juga makin kompleks. Tapi di sisi lain, bukankah Tuhan
sudah berjanji bahwa kekuatan kita akan sebesar masalah yang kita hadapi. Oleh
karena itu kita tidak punya pilihan lain selain berusaha untuk berpikir dan
bersikap dewasa untuk menghadapi masalah hidup yang makin rumit.
Menjadi dewasa memang berimplikasi pada
pengakuan hak dan wewenang yang lebih besar dibanding saat anak-anak. Dengan
menjadi dewasa, kita lebih leluasa pergi kemanapun. Setelah dewasa kita bisa
memilih pakaian yang sesuai dengan selera kita, bukan baju mini mouse yang cute
pilihan Mama. Setelah dewasa dan memiliki penghasilan sendiri, kita bebas
membelanjakan uang tersebut sebanyak apapun. Dan setelah dewasa, kita bebas
untuk menentukan pilihan dan mengemukakan pendapat.
Namun demikian, teman, hak selalu datang bersamaan dengan kewajiban. Dan wewenang selalu diiringi
oleh konsekuensi. Sebesar apa hak kita, sebesar itu pulalah kewajiban yang
harus kita jalani. Seperti kata pamannya Peter Parker, si Abang
Laba-laba, with great power comes great
responsibility.
Saat
masih kecil, kita memang terpaksa memakai baju yang dipilihkan Ibu. Jika
pakaian kita lucu, kita akan dipuji lucu. Tapi jika pakaian kita aneh, maka Ibu
kita yang akan dikritik. Kita tidak akan dikritik tentang itu. Setelah dewasa
kita memang jadi lebih bebas memilih pakaian yang ingin kita gunakan, tapi di
sisi lain kita harus siap jika gaya berpakaian kita dikritik.
Saat
masih kecil memang kita tidak bisa membeli mainan seenaknya. Kita harus
merayu-rayu Ayah agar mau membelikan kita mainan. Setelah dewasa dan kita punya
uang sendiri untuk membeli game/ barang apapun yang kita inginkan, justru di
saat itu kita sadar bahwa keinginan memang tidak selalu bisa dipenuhi. Mungkin
kita memang ingin membeli motor sport
terbaru yang penampilannya keren dan bikin cewek-cewek minta dibonceng,
sayangnya kita sadar bahwa kita lebih membutuhkan
uang tersebut untuk membayar cicilan rumah. Ironis memang ketika keinginan
terbentur kebutuhan.
Saat
masih kecil ketika kita main ke rumah Tante dan mencoba masakan hasil uji coba
si Tante, lalu Tante bertanya “Rasanya enak nggak?”, kita bisa saja menjawab
“Nggak enak” dengan jujur dan tanpa rasa berdosa. Si Tante mungkin akan kecewa/
sedih, tapi tidak akan membenci kita. Beliau maklum, karena kita masih kecil. Tapi
setelah dewasa, jika pacar bertanya “Aku kayaknya tambah gemuk ya?” dan kita
menjawab dengan jujur “Iya,” maka dia tidak akan mau mengenal kita lagi seumur
hidup. Menjadi dewasa kadang mengharuskan
kita untuk bersikap diplomatis, alih-alih jujur.
Saat masih SD, kita langsung mengangkat
tangan untuk bertanya pada guru jika tidak mengerti suatu hal. Tapi setelah
dewasa, kita merasa orang-orang melihat kita dengan pandangan meremehkan atau
menghakimi jika kita tidak mengerti. Akhirnya kita terjebak dengan kebiasaan
sok tahu atau terlalu ingin tahu.
Kita jadi ingin tahu banyak hal yang
sebenarnya tidak perlu kita ketahui, hanya karena kita takut dianggap nggak update. Lalu kita mulai merusak
hidup orang dengan pertanyaan ingin tahu “Kapan lulu?”, “Kerja dimana?”, “Kapan
nikah?”, “Suaminya kerja dimana?”, “Kapan hamil?” dan serentetan pertanyaan
sejenis.
Didukung dengan kemajuan teknologi
informasi dan kemudahan akses informasi yang tak terbatas (dari informasi yang
benar hingga yang benar-benar ngaco), kita dengan mudah menyebarkan informasi
agar orang tidak berpikir bahwa kita ketinggalan berita. Kadang kita melakukan
hal ini tanpa bertanya dulu, atau tanpa menelusuri lebih luas dan lebih dalam. Lalu
dengan mudahnya berkomentar tentang hal-hal yang tidak benar-benar kita pahami,
misal tentang ibu bekerja dan ibu rumah tangga, tentang ibu yang memberi ASI
dan susu formula, tentang melahirkan normal atau caesar. Pada akhirnya kadang kita bukan hanya menyebarkan
informasi, tapi tanpa sadar juga menyebarkan kebencian. Kewajiban untuk menjadi
dewasa, mungkin kadang membuat kita jadi kekanakan.
Saat TK, kita bertengkar hanya
gara-gara teman mengejek tas baru kita jelek. Sekarang setelah kita pikir-pikir
lagi saat dewasa, hal tersebut sangat menggelikan kan? Tapi sadarkah kita,
bahwa kadang kelakuan kita sebagai manusia dewasa justru lebih menggelikan.
Saat TK kita hanya bertengkar sehari, dan keesokan harinya mereka sudah
berbaikan lagi. Tapi setelah dewasa kita malah bisa bertengkar dan saling
merendahkan selama bertahun-tahun hanya karena preferensi politik yang berbeda.
Saat kecil, kita sering mengeluh bahwa
pendapat kita tidak diterima hanya karena kita masih anak-anak. Lalu kita
berharap saat dewasa kita memiliki kebebasan berpendapat. Kenyataannya,
justru pada saat sudah dewasa kita lebih sulit mengemukakan pendapat. Jangankan salah berpendapat, bahkan jika kita berpendapat
yang benarpun tidak selalu bisa diterima. Hal salah yang disampaikan dengan
manis kadang lebih mudah diterima daripada kebenaran yang disampaikan dengan
cara yang kurang elegan. Di titik ini kita akan belajar, bahwa sebagai manusia
dewasa, kita bukan hanya harus bisa mengemukakan pendapat yang benar, tapi juga
bagaimana cara mengemukakannya dengan baik. Apalagi di negara timur dimana
sopan-santun sangat diagungkan, kritik membangun kadang dianggap sebagai sikap
tidak sopan dan mengintimidasi.
Setelah dipikir-pikir, menjadi dewasa
tidak begitu menyenangkan, kan adik-adik? Percayalah, masa-masa paling indah
memang masa TK dan SD. Jadi jangan pernah nonton tayangan sinetron yang
menayangkan ketidakindahan masa sekolah (anak SD berantem, saling ejek, saling
iri). Menjadi dewasa sama dengan kehidupan yang penuh kebebasan, sekaligus
penuh tanggung jawab. Banyak harapan diletakkan di pundak kita. Harapan untuk
menjadi mandiri. Keharusan akan kemampuan kita. Kewajiban akan sopan
santun. Tuntutan akan pengetahuan.
Selamat
hari lahir, Muhammad Anafi Setiawan.
Tidak perlu buru-buru menjadi dewasa. Juga
tidak perlu takut menjadi dewasa. Jadilah dewasa suatu saat nanti, bukan karena
orang lain mengharuskan, tapi karena kamu memang mampu menjadi dewasa. Sampai
saat itu tiba, nikmati saja masa kanak-kanakmu. Ayo bermain dan belajar!
Jadilah anak yang bahagia. Anak-anak yang bahagia akan menjadi orang dewasa
yang membahagiakan umat.
Selamat
hari lahir, Mas Adhyatmika.
Kamu
sudah tidak punya pilihan lain selain menjadi dewasa kan?
Selamat
menjadi dewasa yang tetap sebahagia anak-anak. Sulit untuk tidak mendengar
pendapat orang, tapi kita juga punya kemampuan untuk mendengar suara hati
sendiri.
Selamat
menjadi dewasa dan mengambil tanggung jawab yang besar. Bersama tanggung jawab yang besar, Tuhan memberikan
kekuatan yang besar, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar