Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 31 Januari 2016

MENJADI DEWASA

Menjadi tua adalah kepastian. Menjadi dewasa adalah pilihan.

Begitu kata orang bijak. Dan rasanya semua orang tahu tentang kata-kata ini. Tapi saya pribadi sebenarnya nggak 100% setuju dengan kalimat ini. Saya setuju bahwa menjadi tua itu pasti. Tidak ada orang yang dari hari ke hari menjadi lebih muda, setidaknya dari segi usia, kecuali kalau dihitung mundur dari akhir usianya. Tapi apa benar bahwa menjadi dewasa adalah pilihan? Untuk pernyataan yang ini saya nggak sepenuhnya setuju. Menurut saya, kadang menjadi dewasa bukanlah pilihan, melainkan tuntutan/ kewajiban. Kita dituntut untuk menjadi dewasa, atau kita akan dianggap tidak sopan. Kita wajib menjadi dewasa, atau kita dianggap tidak kompeten. Kita harus bersikap dewasa, atau kita akan dilabeli kekanakan. See? Kadang kita memang tidak punya pilihan lain selain terus berusaha menjadi lebih dewasa kan?

Ingat nggak, waktu kita masih kecil dulu, betapa kita ingin segera menjadi orang dewasa. Betapa kita nggak suka kegiatan kita dibatasi karena kita masih anak-anak. Betapa kita dulu ingin segera tumbuh besar, supaya tidak ada lagi yang menganggap kita anak-anak. Supaya tidak ada lagi yang melarang kita pergi kemanapun atau melakukan apapun. Supaya boleh pulang malam. Supaya boleh jalan-jalan ke mall atau nonton ke bioskop. Atau supaya kita boleh pacaran. Lucu ya, dulu kita pernah punya pikiran seperti itu, ingin cepat dewasa untuk alasan-alasan itu.

Tapi yang lebih lucu lagi, setelah kita menjadi orang dewasa (setidaknya ditinjau dari segi usia), kadang kita ingin kembali menjadi anak-anak. Anak-anak yang bebas bermain tanpa harus mikir nyari uang untuk beli mainan. Anak-anak yang masalah terbesarnya hanyalah PR Matematika, bukannya perhitungan kredit rumah di bank. Anak-anak yang sibuk mengumpulkan tazos dari makanan ringan berMSG lalu tiba-tiba berhenti membelinya karena mendengar teori konspirasi bahwa dengan MSG bikin bego, dan bukannya mikirin teori konspirasi tentang harga cabe dan harga BBM. Anak-anak yang berkutat dengan intrik dan trik untuk memenangkan permainan galasin atau game Mario Bross, dan bukannya intrik persaingan antar rekan kerja. Anak-anak yang musuh terbesarnya adalah guru Fisika yang memberi banyak PR, bukan bos yang memerintahkan membangun candi Borobudur dan waduk Jati Luhur dalam semalam.

Lucu bahwa saat kita kecil dulu kita merasa bahwa hal-hal itu adalah masalah besar, dan berpikir seandainya saja kita sudah dewasa maka kita akan bisa menghadapi semua masalah itu dengan lebih mudah. Tapi kenyataannya, jumlah dan beratnya masalah yang datang berbanding lurus dengan usia kita. Seiring bertambahnya usia, permasalahan yang hadir juga makin kompleks. Tapi di sisi lain, bukankah Tuhan sudah berjanji bahwa kekuatan kita akan sebesar masalah yang kita hadapi. Oleh karena itu kita tidak punya pilihan lain selain berusaha untuk berpikir dan bersikap dewasa untuk menghadapi masalah hidup yang makin rumit.

Menjadi dewasa memang berimplikasi pada pengakuan hak dan wewenang yang lebih besar dibanding saat anak-anak. Dengan menjadi dewasa, kita lebih leluasa pergi kemanapun. Setelah dewasa kita bisa memilih pakaian yang sesuai dengan selera kita, bukan baju mini mouse yang cute pilihan Mama. Setelah dewasa dan memiliki penghasilan sendiri, kita bebas membelanjakan uang tersebut sebanyak apapun. Dan setelah dewasa, kita bebas untuk menentukan pilihan dan mengemukakan pendapat.

Namun demikian, teman, hak selalu datang bersamaan dengan kewajiban. Dan wewenang selalu diiringi oleh konsekuensi. Sebesar apa hak kita, sebesar itu pulalah kewajiban yang harus kita jalani. Seperti kata pamannya Peter Parker, si Abang Laba-laba, with great power comes great responsibility.

Saat masih kecil, kita memang terpaksa memakai baju yang dipilihkan Ibu. Jika pakaian kita lucu, kita akan dipuji lucu. Tapi jika pakaian kita aneh, maka Ibu kita yang akan dikritik. Kita tidak akan dikritik tentang itu. Setelah dewasa kita memang jadi lebih bebas memilih pakaian yang ingin kita gunakan, tapi di sisi lain kita harus siap jika gaya berpakaian kita dikritik.

Saat masih kecil memang kita tidak bisa membeli mainan seenaknya. Kita harus merayu-rayu Ayah agar mau membelikan kita mainan. Setelah dewasa dan kita punya uang sendiri untuk membeli game/ barang apapun yang kita inginkan, justru di saat itu kita sadar bahwa keinginan memang tidak selalu bisa dipenuhi. Mungkin kita memang ingin membeli motor sport terbaru yang penampilannya keren dan bikin cewek-cewek minta dibonceng, sayangnya kita sadar bahwa kita lebih membutuhkan uang tersebut untuk membayar cicilan rumah. Ironis memang ketika keinginan terbentur kebutuhan.

Saat masih kecil ketika kita main ke rumah Tante dan mencoba masakan hasil uji coba si Tante, lalu Tante bertanya “Rasanya enak nggak?”, kita bisa saja menjawab “Nggak enak” dengan jujur dan tanpa rasa berdosa. Si Tante mungkin akan kecewa/ sedih, tapi tidak akan membenci kita. Beliau maklum, karena kita masih kecil. Tapi setelah dewasa, jika pacar bertanya “Aku kayaknya tambah gemuk ya?” dan kita menjawab dengan jujur “Iya,” maka dia tidak akan mau mengenal kita lagi seumur hidup. Menjadi dewasa kadang mengharuskan kita untuk bersikap diplomatis, alih-alih jujur.

Saat masih SD, kita langsung mengangkat tangan untuk bertanya pada guru jika tidak mengerti suatu hal. Tapi setelah dewasa, kita merasa orang-orang melihat kita dengan pandangan meremehkan atau menghakimi jika kita tidak mengerti. Akhirnya kita terjebak dengan kebiasaan sok tahu atau terlalu ingin tahu.
Kita jadi ingin tahu banyak hal yang sebenarnya tidak perlu kita ketahui, hanya karena kita takut dianggap nggak update. Lalu kita mulai merusak hidup orang dengan pertanyaan ingin tahu “Kapan lulu?”, “Kerja dimana?”, “Kapan nikah?”, “Suaminya kerja dimana?”, “Kapan hamil?” dan serentetan pertanyaan sejenis.
Didukung dengan kemajuan teknologi informasi dan kemudahan akses informasi yang tak terbatas (dari informasi yang benar hingga yang benar-benar ngaco), kita dengan mudah menyebarkan informasi agar orang tidak berpikir bahwa kita ketinggalan berita. Kadang kita melakukan hal ini tanpa bertanya dulu, atau tanpa menelusuri lebih luas dan lebih dalam. Lalu dengan mudahnya berkomentar tentang hal-hal yang tidak benar-benar kita pahami, misal tentang ibu bekerja dan ibu rumah tangga, tentang ibu yang memberi ASI dan susu formula, tentang melahirkan normal atau caesar. Pada akhirnya kadang kita bukan hanya menyebarkan informasi, tapi tanpa sadar juga menyebarkan kebencian. Kewajiban untuk menjadi dewasa, mungkin kadang membuat kita jadi kekanakan.

Saat TK, kita bertengkar hanya gara-gara teman mengejek tas baru kita jelek. Sekarang setelah kita pikir-pikir lagi saat dewasa, hal tersebut sangat menggelikan kan? Tapi sadarkah kita, bahwa kadang kelakuan kita sebagai manusia dewasa justru lebih menggelikan. Saat TK kita hanya bertengkar sehari, dan keesokan harinya mereka sudah berbaikan lagi. Tapi setelah dewasa kita malah bisa bertengkar dan saling merendahkan selama bertahun-tahun hanya karena preferensi politik yang berbeda.

Saat kecil, kita sering mengeluh bahwa pendapat kita tidak diterima hanya karena kita masih anak-anak. Lalu kita berharap saat dewasa kita memiliki kebebasan berpendapat. Kenyataannya, justru pada saat sudah dewasa kita lebih sulit mengemukakan pendapat. Jangankan salah berpendapat, bahkan jika kita berpendapat yang benarpun tidak selalu bisa diterima. Hal salah yang disampaikan dengan manis kadang lebih mudah diterima daripada kebenaran yang disampaikan dengan cara yang kurang elegan. Di titik ini kita akan belajar, bahwa sebagai manusia dewasa, kita bukan hanya harus bisa mengemukakan pendapat yang benar, tapi juga bagaimana cara mengemukakannya dengan baik. Apalagi di negara timur dimana sopan-santun sangat diagungkan, kritik membangun kadang dianggap sebagai sikap tidak sopan dan mengintimidasi.

Setelah dipikir-pikir, menjadi dewasa tidak begitu menyenangkan, kan adik-adik? Percayalah, masa-masa paling indah memang masa TK dan SD. Jadi jangan pernah nonton tayangan sinetron yang menayangkan ketidakindahan masa sekolah (anak SD berantem, saling ejek, saling iri). Menjadi dewasa sama dengan kehidupan yang penuh kebebasan, sekaligus penuh tanggung jawab. Banyak harapan diletakkan di pundak kita. Harapan untuk menjadi mandiri. Keharusan akan kemampuan kita. Kewajiban akan sopan santun. Tuntutan akan pengetahuan.



Selamat hari lahir, Muhammad Anafi Setiawan.
Tidak perlu buru-buru menjadi dewasa. Juga tidak perlu takut menjadi dewasa. Jadilah dewasa suatu saat nanti, bukan karena orang lain mengharuskan, tapi karena kamu memang mampu menjadi dewasa. Sampai saat itu tiba, nikmati saja masa kanak-kanakmu. Ayo bermain dan belajar! Jadilah anak yang bahagia. Anak-anak yang bahagia akan menjadi orang dewasa yang membahagiakan umat.


Selamat hari lahir, Mas Adhyatmika.
Kamu sudah tidak punya pilihan lain selain menjadi dewasa kan?
Selamat menjadi dewasa yang tetap sebahagia anak-anak. Sulit untuk tidak mendengar pendapat orang, tapi kita juga punya kemampuan untuk mendengar suara hati sendiri.

Selamat menjadi dewasa dan mengambil tanggung jawab yang besar. Bersama tanggung jawab yang besar, Tuhan memberikan kekuatan yang besar, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar