Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 31 Januari 2016

MAKROFAG DAN DRAMA KOREA

Makrofag merupakan salah satu sel yang memiliki peran penting dalam sistem imun/ pertahanan tubuh kita. Sel ini awalnya dinamai makrofag karena ukurannya yang lebih besar daripada sel-sel lain (makros) dan kemampuannya untuk “memakan” (phagein) “benda asing” dalam tubuh, bukan hanya mikroba patogen yang menginvasi tubuh kita, tapi juga termasuk ”sel asing” seperti sel tumor misalnya. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, kemudian diketahui bahwa, tidak seperti saya yang cuma bisa makan melulu, peran makrofag ternyata bukan hanya sekedar makan-memakan saja. Bukan hanya terkait inflamasi dan penyakit infeksi, kini banyak penelitian yang menunjukkan peran makrofag dalam regulasi penyakit-penyakit seperti osteoporosis, aterosklerosis, obesitas dan diabetes, serta fibrosis.
Dari sini rasanya kita harusnya sadar bahwa kebenaran-kebenaran yang kita ketahui pada awalnya, tidak selamanya benar. Seperti halnya dulu orang-orang percaya bahwa bumi ini datar, lalu menertawakan orang-orang yang berpendapat bumi ini bulat, sampai akhirnya terbukti bahwa bumi ini bulat. Kadang kita mungkin juga begitu. Hanya karena merasa pendapat kita benar, lalu kita menyalah-nyalahkan pendapat orang lain yang berbeda dengan kita. Padahal hanya karena kita benar, bukan berarti orang lain salah kan? Hidup kan bukan soal ujian pilihan ganda dimana hanya ada satu pilihan benar. Dalam hidup, kadang adalah lebih dari satu pilihan benar. Itu mengapa hidup lebih sulit daripada SBMPTN, karena kita dihadapkan pada beberapa pilihan yang benar, namun kita tetap harus memilih mana yang lebih sesuai dengan kondisi kita. Lebih jauh, kebenaran yang kita ketahui sekarang mungkin hanya sebagian kecil dari kebenaran yang lebih besar. Seperti halnya kita yang awalnya mengira makrofag hanya bisa “makan-memakan”, ternyata makrofag memiliki peran yang jauh lebih luas daripada itu. Dengan menyadari hal ini rasanya kita akan lebih hati-hati menilai orang lain, dan tidak dengan mudah menyalah-nyalahkan orang lain. Lagipula, menyalah-nyalahkan orang lain nggak membuat orang itu mau mengikuti kebenaran kok. Katanya, menyampaikan kebenaran dengan cara yang salah hanya akan menimbulkan kebencian kepada kebenaran tersebut.

Dari sekian banyak peran makrofag dalam regulasi tubuh kita, kali ini saya cuma akan membahas peran makrofag dalam proses perbaikan jaringan dan fibrosis. Saat sel/ jaringan terluka, tubuh kita memiliki mekanisme untuk menghancurkan penyebab dan akibat luka tersebut, kemudian memperbaiki jaringan yang luka tersebut. Mekanisme ini diketahui kemudian turut melibatkan makrofag. Luka pada sel atau jaringan tubuh bisa disebabkan banyak hal. Merokok, misalnya, bisa melukai sel paru-paru.  Atau alkohol dan kadar lemak tinggi menyebabkan kerusakan pada sel hati (liver). Atau masa lalu yang buruk bisa menyebabkan luka pada hati #halah #nyambungBanget. Kalau dipikir-pikir lagi, kadang kita sendiri yang melukai diri kita sendiri ya?

Berdasarkan beberapa penelitian diketahui ada beberapa fenotip makrofag. Secara garis besar, ada dua fenotipe makrofag: M1 dan M2. Secara sederhana, makrofag M1 berperan dalam proses inflamasi dan makrofag M2 berperan dalam proses perbaikan jaringan. Saat sel/ jaringan rusak/ terluka (dalam, dan tak tahu arah jalan pulang #ngok) maka makrofag M1 ini akan memicu proses inflamasi: pasokan darah meningkat ke area luka, membawa sejumlah besar sel imunitas untuk menghancurkan penyebab luka (misal mikroba) dan membersihkan jaringan (dari debris). Setelah proses menghancurkan, makan-memakan dan membersihkan ini, jaringan yang luka namun telah bersih ini perlu diperbaiki. Di tahap inilah makrofag M2 berperan untuk menghasilkan matriks ekstraselular (ECM), terdiri dari protein-protein pembentuk jaringan, seperti kolagen dan fibronektin. Setelah jaringan berhasil diperbaiki, kelebihan kolagen yang terbentuk akan dihancurkan oleh fenotip makrofag yang lain (akan dijelaskan kemudian) sehingga jaringan kembali ke bantuknya semula. Kalau teman-teman sulit membayangkan kejadian ini, bayangkanlah masa SD kita dulu, saat kita jatuh bermain galasin dan menyebabkan lutut kita terluka. Saat lutut terluka dan berdarah, sel-sel imun akan berdatangan bersama darah tersebut ke tempat luka di lutut kita. Lalu dalam beberapa hari pertama luka di lutut kita akan nampak bernanah. Saat itu, makrofag M1 sedang menghasilkan zat-zat proteolitik untuk menghancurkan infeksi bakteri pada luka kita. Sisa dari bakteri yang hancur tadi itulah yang kita lihat sebagai nanah. Setelah semua bakteri terbunuh, barulah bekas luka itu pelan-pelan tertutup kembali. Saat itu makrofag M2 sedang menghasilkan kolagen, fibronektin dan beberapa protein lain yang dapat memperbaiki struktur jaringan kulit. Pada tahap ini di kulit kita akan muncul bekas luka (sebut saja namanya “koreng”) yang sebenarnya merupakan akumulasi ektraselular matriks di kulit. Namun setelah memasuki fase penyembuhan, kelebihan ECM ini akan dihancurkan sehingga kulit kita mulus kembali.

Kira-kira begitulah yang terjadi dalam tubuh kita. Setiap ada serangan pada sel/ jaringan tubuh kita, sebenarnya tubuh kita memiliki mekanisme untuk memperbaiki dirinya sendiri. Namun, jika luka tersebut terjadi berulang-ulang (misal karena merokok terus menerus, atau makan gorengan terus-terusan, atau mabok-mabokan), mekanisme pertahanan tubuh dan perbaikan diri itu menjadi terganggu. Pada luka akut, terdapat keseimbangan antara pembentukan kolagen (untuk perbaikan diri) dan penghancuran kolagen yang berlebih. Namun jika terjadi luka kronis yang terus-menerus, makrofag akan bekerja terus menerus untuk menghancurkan dan memperbaiki diri, sampai pada suatu tahap dimana terjadi ketidakseimbangan dalam proses pembentukan dan penghancuran kolagen. Makrofag M2 akan terus-terusam memproduksi ECM (kolagen) secara berlebihan. Pernah lihat bekas luka di kulit yang membentuk keloid? Kira-kira seperti itu gambarannya saat terjadi akumulasi ECM di organ. Bayangkan kalau keloid semacam itu terjadi di paru-paru kita, maka akan menutup alveoli dan menyebabkan gangguan fungsi paru-paru. Bayangkan kalau akumulasi ECM tersebut ada di liver kita, maka akan menyebabkan rusaknya fungsi liver. Fase akumulasi ECM di organ inilah yang disebut fibrosis. Pada fase yang lebih parah, fibrosis liver bahkan dapat menyebabkan sirosis atau kanker liver. Jadi sekarang kita jadi paham kan kenapa hati yang disakiti berkali-kali (kronis) bisa jadi kaku kayak kanebo kering?

Belakangan diketahui bahwa terdapat beberapa subtipe makrofag M2: M2a, M2b dan M2c, ditinjau dari faktor pemicu dan produk (jenis sitokin) yang dihasilkan. Satu hal yang sama bisa memicu munculnya fenotipe makrofag yang berbeda jika kondisi lingkungan/ jaringan berbeda. Seperti halnya orang yang sama bisa jadi menunjukkan sikap yang berbeda saat berada di lingkungan yang berbeda (misal kalau di depan gebetan gayanya jadi jaim). Hal ini yang menyebabkan pembagian fenotipe makrofag hanya sebagai M1 dan M2 dirasakan kurang tepat, karena makrofag M1 yang bersifat pro-inflamasi ternyata juga berperan dalam fase penyembuhan (degradasi kolagen yang berlebihan), namun masih memiliki sifat-sifat makrofag M2. Oleh karena itu belakangan dirasa lebih tepat untuk mengenali makrofag berdasarkan sifatnya, yaitu makrofag pro-inflamasi, makrofag pro-fibrosis dan makrofag pro-resolusi.
Maka bukankah begitu harusnya kita mengenali sesama manusia? Bukan hanya dari ras, suku, agama, warna kulit dan status sosial kan? Tapi berdasarkan sifatnya. Setiap orang bisa jadi jahat atau baik, apapun ras, suku, agama, warna kulit dan status sosialnya. Bahkan makrofag M2 yang awalnya berperan baik untuk memperbaiki jaringan, bisa jadi “tokoh antagonis” saat memproduksi kolagen secara berlebihan. Dan sebaliknya makrofag M1 yang menyebabkan inflamasi/ peradangan, pada waktu/ fase yang berbeda bisa menjadi “tokoh protagonis” dengan mendegradasi akumulasi kolagen yang berlebihan pada organ. Maka rasanya perlu disadari bahwa setiap manusia punya sisi baik dan buruk.

Makrofag dalam konteks fibrosis, seperti halnya wanita, sampai saat ini masih sulit dimengerti. Menghambat makrofag pada fase inflamasi terbukti mencegah fibrosis, namun menghambat makrofag pada fase resolusi justru memperparah fibrosis. Di sisi lain, mengaktivasi makrofag pada fase resolusi diduga prospektif untuk menyembuhkan fibrosis. Jadi, untuk menyembuhkan fibrosis, harusnya makrofag dihambat atau diaktivasi?

Kompleksitas yang terjadi pada sistem pertahanan tubuh kita ini rasanya mengingatkan saya pada kompleksitas kehidupan kita sendiri, yang kadang ditampilkan dengan riil pada drama Korea #teuteup. Kalau diperhatikan, pada setiap drama Korea (tidak seperti sinetron Indonesia yang peran protagonisnya seperti orang tolol dan peran antagonisnya bikin setan merasa tersaingi kejahatannya), semua peran di drama Korea memiliki sisi baik dan sisi jahat. Porsinya mungkin tidak sama besar, tapi bahkan kejahatan yang dilakukan oleh si peran antagonis tidak jarang disebabkan oleh alasan yang baik. Sering juga suatu tindakan dianggap baik atau baik tergantung dari sudut pandang kita dalam melihatnya. Misalnya seorang guru yang disiplin bisa dilihat sebagai guru yang galak, tapi bisa juga dilihat sebagai guru yang tegas. See? Galak dan tegas bedanya hanya sejauh cara kita memandangnya kan? Maka percayalah bahwa setiap orang jahat pasti memiliki sisi baik. Dan ingatlah bahwa pada setiap hal buruk yang dilakukan, mungkin ada alasan yang tidak kita mengerti. Atau misalnya kenapa bisa ada anak yang tidak berbakti kepada orangtuanya? Bisa jadi karena standar bakti anak dan orangtua berbeda. Misalnya orangtua berpikir bahwa bakti anak harus direalisasikan dengan memberi uang bulanan yang cukup, sementara gaji anaknya saja nggak cukup untuk memberi makan anak-istrinya, maka tentu di mata orangtua ini si anak adalah anak yang tidak berbakti kan?
Meski begitu, tulisan saya ini bukan menjadi justifikasi untuk membenarkan yang salah. Tentu setiap kesalahan harus dihukum dan diperbaiki (karena kesalahan yang tidak dihukum akan membuat orang lain menganggap itu suatu kebenaran, lalu melakukan kesalahan yang sama), namun beratnya hukuman tentu harus mempertimbangkan hal-hal lain yang mungkin tak kasat mata. Hanya karena masih kecil, bukan berarti murid SD yang mencuri bekal makan siang temannya, lalu ia tidak dihukum. Anak tersebut tetap harus dihukum agar dia tahu bahwa yang dilakukannya salah dan dia tidak mengulangi kesalahannya. Tapi bagaimana cara menghukumnya? Perhatikan dulu mengapa dia harus mencuri bekal makan siang temannya. Jangan-jangan karena dia memang kelaparan dan berasal dari keluarga yang kurang mampu. Jika begini, maka memukul atau mengeluarkannya dari sekolah bukanlah hukuman yang tepat, karena penyebab ia menjadi pencuri bukan karena dia ingin mencuri, tapi karena dia terpaksa mencuri karena lapar. Maka mengatasi kemiskinan keluarga si anak, dengan memberdayakan orangtuanya, mungkin adalah cara yang lebih baik untuk menghukum. Hmmm,, tiba-tiba saya jadi ingat ada kalimat ini “Kefakiran itu dekat dengan kekufuran.”

Begitu juga dalam mengobati suatu penyakit, bukan hanya menghilangkan penyakit yang sudah terjadi, tapi juga harus disertai dengan menghambat penyebab terjadinya penyakit tersebut kan? Maka menyembuhkan hati yang luka juga mungkin begitu caranya ... bukan hanya dengan memulai hubungan baru, tapi juga dengan menghambat ingatan-ingatan menyakitkan di masa lalu. Ah tapi namanya juga manusia (seperti juga orang yang masih merokok dan mabuk-mabukan meski tahu itu bahaya), suka sekali menyakiti diri sendiri, lalu berharap dikasihani dan disembukan oleh orang lain.

Kalau sudah begini, saya tidak lagi bisa mengerti mengapa masih ada orang yang tidak mempercayai Tuhan. Bahkan dengan mempelajari satu sel makrofag saja, saya bisa mempelajari lebih banyak hal. Bukankah kalau mereka mau “membaca” semesta, harusnya mereka sadar bahwa tidak mungkin berkeras hati tidak mengakui keberadaan Tuhan?


Bagi yang ingin mengenal makrofag lebih dalam, silakan membaca artikel ini  http://journal.frontiersin.org/article/10.3389/fmed.2015.00081/full





Tidak ada komentar:

Posting Komentar