Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 31 Januari 2016

PENOLAKAN

Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa besarnya tanggung jawab yang kita ambil, sebesar itu pulalah kekuatan yang akan diberikan Tuhan kepada kita. Saya juga pernah membaca sebuah kutipan menarik dari Hellen Keller:

I am only one, but I am still one. I can not do everything, but still I can do something. And because I can not do everything, I will not refuse to do something that I can do.

Mungkin itulah mengapa saya jarang mengatakan “tidak” jika diminta melakukan sesuatu.

Sebagai mahasiswa yang baru lulus kuliah dulu, saya tahu bahwa ilmu saya jauh dari cukup untuk menjadi professional di industri farmasi, Oleh karena itu saya bertekad untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya di industri farmasi. Dan menurut saya tidak ada cara yang paling tepat untuk belajar selain dengan terlibat sebanyak mungkin dan mengetahui sedalam mungkin tentang seluk-beluk industri farmasi. Maka dengan alasan itulah, setiap bos saya bertanya “Saya butuh data ini. Kamu bisa mengerjakannya kan?”, saya selalu menjawab “Bisa, Pak”. Dalam hati saya menjawab “Bisa diusahakan dan dipelajari, Pak”. Meski saya belum tentu bisa mengerjakan tugas dari bos, saya tidak pernah menolak melakukan perintahnya. Tidak semua hal yang diminta si Bos bisa saya lakukan, tapi saya selalu berpikir bahwa semua hal bisa dipelajari dan saya pasti bisa melakukannya.

Awalnya saya berpikir bahwa itu adalah salah satu kekuatan saya. Bahwa saya tidak pernah menolak untuk mempelajari hal baru, itu adalah satu hal. Tapi ternyata hal itu juga adalah kelemahan saya yang utama: saya sulit berkata “tidak”. Selain karena alasan ingin menambah pengetahuan/ keterampilan baru, kesulitan saya untuk menolak sebenarnya lebih disebabkan karena saya selalu merasa sungkan/ tidak enak untuk menolak. Tentu saja hal ini terjadi jika pimpinan/ bos saya yang meminta. Tapi lebih jauh, dalam kehidupan sehari-hari saya juga sering sulit menolak permintaan orang lain, terutama jika orang tersebut adalah orang yang dekat dengan saya, orang yang saya hormati, atau orang yang saya sayangi.

Satu tahun di Groningen ini saya belajar banyak tentang penolakan. Bahwa penolakan tidak selalu buruk. Penolakan, meski disampaikan dengan baik sekalipun, memang akan meninggalkan rasa sakit atau kecewa. Itu manusiawi. Tapi bisa jadi menolak lebih baik daripada menerima, jika sejak awal kita sudah tahu bahwa kita tidak bisa memenuhi harapan dari yang meminta bantuan. Beberapa pengalaman saya disini membuktikan bahwa penolakan lebih baik daripada menyia-nyiakan harapan orang, atau lebih buruk, merepotkan orang lain hanya karena kita tidak bisa memenuhi harapan yang ditumpukan pada kita.

Bekerja bersama tiga orang supervisor dan tujuh orang rekan lab dari lima negara yang berbeda juga membuat saya belajar bahwa kita tidak bisa memenuhi keinginan/harapan/ permintaan semua orang. Saya belajar bahwa tidak semua hal bisa saya lakukan sendiri, dan meminta tolong rekan satu tim tidak membuat kita terlihat lemah (asal nggak minta tolong terus-terusan, itu namanya manja). Di sisi lain saya juga belajar bahwa tidak mengapa jika kita menolak membantu eksperimen teman jika kita memang ada eksperimen lain yang prioritasnya lebih tinggi. Asal kita memberikan alasan yang jelas, mereka nggak akan baper (bawa perasaan.red) dan sensitif hanya karena kita tidak bisa membantu eksperimen mereka. Terutama karena dibimbing oleh tiga orang supervisor yang kadang (atau sering) berbeda pendapat, maka saya belajar untuk menentukan sikap: menyetujui saran-saran yang dapat diaplikasikan, sekaligus menolak hal-hal yang saya anggap bisa dilakukan lebih baik dengan cara lain. Untungnya, ketiga supervisor saya ini juga nggak ada yang baper-an kalau saya menolak. Salah satu supervisor saya malah ada yang pernah protes karena saya selalu meng-iya-kan sarannya. Kata beliau, asal saya punya alasan yang baik dan kuat untuk mengatakan “tidak”, saya tidak perlu selalu menjawab “iya”. Alhamdulillah sampai saat ini saya belum mengalami dilemma sinis-sinisan antar seupervisor. Jika saling tidak setuju, mereka akan berdebat di hadapan saya, dan tidak membicarakan satu sama lain kepada saya di saat yang lain sedang tidak ada.

Tapi katanya, kalau kita berusaha melampaui kemampuan kita, maka Tuhan akan menambahkan kemampuan kita, iya kan? Kalau kita hanya mau mengerjakan/ membantu hal-hal yang sudah bisa kita lakukan, kita tidak akan bisa melakukan hal lain kan? Hal ini tentu saja benar. Tapi kemudian saya menyadari bahwa menyadari kelemahan kita sama pentingnya dengan menambah kemampuan kita. Memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa kita lakukan, hanya karena kita merasa sungkan dan tidak enak menolak, kadang hanya akan berujung pada lebih merepotkan orang lain.

Ngomong-ngomong, ini berlaku bukan hanya tentang urusan pekerjaan aja sih. Tentang hubungan juga begitu. Kadang menolak seseorang memang lebih baik daripada memberi harapan palsu. Dan bagi yang ditolak, ketahuilah bahwa untuk menolak diperlukan keberanian yang sama besarnya dengan keberanian untuk meminta. Dan meski penolakan tidak pernah menyenangkan, percayalah bahwa si penolak mungkin juga sama menderitanya dengan yang ditolak.

Hmmm…. Kalau begitu, saat Tuhan menolak permohonan kita, bisa jadi itu demi kebaikan kita juga kan? Karena Ia tahu bahwa permohonan kita tidak baik bagi kita, dan Ia sudah menyiapkan hal lain yang lebih baik bagi kita.





Untuk kerepotan dan kesulitan yang saya sebabkan karena kelemahan saya yang tidak bisa menolak, saya minta maaf.
Juga untuk penolakan, yang meski dilakukan untuk kebaikan bersama, tapi saya tahu bahwa itu mengecewakan ... saya juga minta maaf.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar