Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa
besarnya tanggung jawab yang kita ambil, sebesar itu pulalah kekuatan yang akan
diberikan Tuhan kepada kita. Saya juga pernah membaca sebuah kutipan menarik
dari Hellen Keller:
I am
only one, but I am still one. I can not do everything, but still I can do
something. And because I can not do everything, I will not refuse to do
something that I can do.
Mungkin itulah mengapa saya jarang mengatakan
“tidak” jika diminta melakukan sesuatu.
Sebagai mahasiswa yang baru lulus kuliah dulu,
saya tahu bahwa ilmu saya jauh dari cukup untuk menjadi professional di
industri farmasi, Oleh karena itu saya bertekad untuk menimba ilmu
sebanyak-banyaknya di industri farmasi. Dan menurut saya tidak ada cara yang
paling tepat untuk belajar selain dengan terlibat sebanyak mungkin dan
mengetahui sedalam mungkin tentang seluk-beluk industri farmasi. Maka dengan
alasan itulah, setiap bos saya bertanya “Saya butuh data ini. Kamu bisa
mengerjakannya kan?”, saya selalu menjawab “Bisa, Pak”. Dalam hati saya
menjawab “Bisa diusahakan dan dipelajari, Pak”. Meski saya belum tentu bisa
mengerjakan tugas dari bos, saya tidak pernah menolak melakukan perintahnya.
Tidak semua hal yang diminta si Bos bisa saya lakukan, tapi saya selalu
berpikir bahwa semua hal bisa dipelajari dan saya pasti bisa melakukannya.
Awalnya saya berpikir bahwa itu adalah salah
satu kekuatan saya. Bahwa saya tidak pernah menolak untuk mempelajari hal baru,
itu adalah satu hal. Tapi ternyata hal itu juga adalah kelemahan saya yang
utama: saya sulit berkata “tidak”. Selain karena alasan ingin menambah
pengetahuan/ keterampilan baru, kesulitan saya untuk menolak sebenarnya lebih
disebabkan karena saya selalu merasa sungkan/ tidak enak untuk menolak. Tentu
saja hal ini terjadi jika pimpinan/ bos saya yang meminta. Tapi lebih jauh,
dalam kehidupan sehari-hari saya juga sering sulit menolak permintaan orang
lain, terutama jika orang tersebut adalah orang yang dekat dengan saya, orang
yang saya hormati, atau orang yang saya sayangi.
Satu tahun di
Groningen ini saya belajar banyak tentang penolakan. Bahwa penolakan tidak
selalu buruk. Penolakan, meski disampaikan dengan baik sekalipun, memang akan
meninggalkan rasa sakit atau kecewa. Itu manusiawi. Tapi bisa jadi menolak
lebih baik daripada menerima, jika sejak awal kita sudah tahu bahwa kita tidak
bisa memenuhi harapan dari yang meminta bantuan. Beberapa pengalaman saya
disini membuktikan bahwa penolakan lebih baik daripada menyia-nyiakan harapan orang,
atau lebih buruk, merepotkan orang lain hanya karena kita tidak bisa memenuhi
harapan yang ditumpukan pada kita.
Bekerja bersama tiga
orang supervisor dan tujuh orang rekan lab dari lima negara yang berbeda juga
membuat saya belajar bahwa kita tidak bisa memenuhi keinginan/harapan/
permintaan semua orang. Saya belajar bahwa tidak semua hal bisa saya lakukan
sendiri, dan meminta tolong rekan satu tim tidak membuat kita terlihat lemah
(asal nggak minta tolong terus-terusan, itu namanya manja). Di sisi lain saya
juga belajar bahwa tidak mengapa jika kita menolak membantu eksperimen teman
jika kita memang ada eksperimen lain yang prioritasnya lebih tinggi. Asal kita
memberikan alasan yang jelas, mereka nggak akan baper (bawa perasaan.red) dan sensitif hanya karena kita tidak bisa
membantu eksperimen mereka. Terutama karena dibimbing oleh tiga orang
supervisor yang kadang (atau sering) berbeda pendapat, maka saya belajar untuk
menentukan sikap: menyetujui saran-saran yang dapat diaplikasikan, sekaligus
menolak hal-hal yang saya anggap bisa dilakukan lebih baik dengan cara lain. Untungnya,
ketiga supervisor saya ini juga nggak ada yang baper-an kalau saya menolak. Salah satu supervisor saya malah ada
yang pernah protes karena saya selalu meng-iya-kan sarannya. Kata beliau, asal
saya punya alasan yang baik dan kuat untuk mengatakan “tidak”, saya tidak perlu
selalu menjawab “iya”. Alhamdulillah sampai saat ini saya belum mengalami
dilemma sinis-sinisan antar seupervisor. Jika saling tidak setuju, mereka akan
berdebat di hadapan saya, dan tidak membicarakan satu sama lain kepada saya di
saat yang lain sedang tidak ada.
Tapi katanya, kalau kita berusaha melampaui
kemampuan kita, maka Tuhan akan menambahkan kemampuan kita, iya kan? Kalau kita
hanya mau mengerjakan/ membantu hal-hal yang sudah bisa kita lakukan, kita
tidak akan bisa melakukan hal lain kan? Hal ini tentu saja benar. Tapi kemudian
saya menyadari bahwa menyadari kelemahan kita sama pentingnya dengan menambah
kemampuan kita. Memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak
bisa kita lakukan, hanya karena kita merasa sungkan dan tidak enak menolak,
kadang hanya akan berujung pada lebih merepotkan orang lain.
Ngomong-ngomong, ini berlaku bukan hanya tentang
urusan pekerjaan aja sih. Tentang hubungan juga begitu. Kadang menolak seseorang
memang lebih baik daripada memberi harapan palsu. Dan bagi yang ditolak,
ketahuilah bahwa untuk menolak diperlukan keberanian yang sama besarnya dengan
keberanian untuk meminta. Dan meski penolakan tidak pernah menyenangkan,
percayalah bahwa si penolak mungkin juga sama menderitanya dengan yang ditolak.
Hmmm…. Kalau begitu,
saat Tuhan menolak permohonan kita, bisa jadi itu demi kebaikan kita juga kan?
Karena Ia tahu bahwa permohonan kita tidak baik bagi kita, dan Ia sudah
menyiapkan hal lain yang lebih baik bagi kita.
Untuk kerepotan dan
kesulitan yang saya sebabkan karena kelemahan saya yang tidak bisa menolak,
saya minta maaf.
Juga untuk penolakan,
yang meski dilakukan untuk kebaikan bersama, tapi saya tahu bahwa itu
mengecewakan ... saya juga minta maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar