“Haish, fotonya nggak bagus. Kita
ulang lagi.”
Gadis itu memperlihatkan gambar yang
terambil di kamera ponselnya kepada seseorang yang duduk di sampingnya.
“Apanya yang nggak bagus, Rora?”
“Lo merem nih, Lex.”
Orang yang bernama Alex itu manyun. “Lo
juga jangan menggembungkan pipi begitu saat difoto. Maksudnya biar lucu ya?”
Sekarang Rora yang gantian manyun
sambil memukul bahu Alex. Tapi yang dipukul justru tertawa terbahak dengan
puas. Rora suka melihat warna wajah Alex yang kemerahan saat tertawa. Mungkin
itu karena kulit Alex yang sangat putih.
“Sini, kita foto lagi.”
Rora menyiapkan ponselnya, menghadap
ke arah mereka dengan kemiringan empat puluh lima derajat seperti kebiasaan
para anak alay masa kini. Dengan malas, Alex mengikuti keinginan Rora.
Rora melihat layar ponselnya dan
mendapati hanya separuh wajah Alex yang tertangkap di dalamnya.
“Sini mendekat! Muka lo nggak
kelihatan, Lex,” kata Rora, susah payah menjauhkan ponselnya supaya bisa
menangkap wajah Alex juga.
Agak malas, tapi tidak tega melihat
Rora, Alex mengambil ponsel itu dari tangan Rora. Tangannya lebih panjang dari
tangan gadis itu sehingga tidak perlu bersusah payah mengatur jarak kamera. Ia
melihat ke layar ponsel, mendekatkan duduknya kepada Rora dan merangkul gadis
itu supaya wajah mereka berdua tertangkap kamera ponsel.
Alex melirik Rora yang sedang memasang
gaya andalannya, membentuk “victory” dengan kedua jarinya. Kelakuan gadis itu
tidak pernah berubah. Ia tersenyum. Lalu menekan ikon kamera di ponsel itu.
Rambut ikal dan rambut lurus. Si hitam
dan si putih. Si mata besar dan mata kecil. Utara dan selatan.
Bagaimana dua orang yang berkebalikan
bisa bersahabat? Kau bisa bertanya pada Alex dan Rora. Mereka adalah dua
makhluk yang sangat berbeda. Nyaris dalam segala hal. Rora sangat banyak cakap,
dan juga banyak gaya. Dan meskipun Alex bukan orang yang pendiam, tapi dia
memang lebih tenang dan pasif. Tapi toh mereka tahan bersahabat selama
bertahun-tahun.
Sejak kuliah sampai masing-masing
sudah bekerja, mereka tetap terus berhubungan dengan intensitas yang tidak juga
menurun. Tidak ada tips khusus untuk mempertahankan persahabatan dengan banyak
perbedaan. Yang mereka lakukan bukan mengabaikan perbedaan, tapi justru menyadari
perbedaan masing-masing.
*
* *
Rora sibuk menyeruput kuah baksonya
sambil terus-terusan menyeka air mata dan menyusut ingusnya. Pemandangan ini
membuat Alex merasa heran sekaligus jijik.
“Lu ngapain sih Ra? Mau makan apa
nangis?” tegur Alex dengan wajah mengernyit.
“Pedas, tahu!” Rora menyergah. Tidak
peduli pada protes sahabatnya, dia meneruskan gaya makannya yang menjijikkan
itu.
Alex penasaran melihat kuah di mangkuk
bakso Rora. Jelas warnanya kontras dengan kuah bakso di mangkoknya sendiri yang
berwarna merah menyala. Mengabaikan rasa jijiknya, ia nekat menyendok kuah
bakso gadis dihadapannya dan mencecapnya.
Ini
mah apanya yang pedas sih?
“Ke dokter sana, Ra. Indera pengecap
lo udah rusak kali. Ini manis banget.”
Tampak kikuk sesaat, tapi Rora tidak
mengalihkan tatapannya dari mangkok baksonya. Dia terus menunduk, menekuri
mangkoknya dan terus menyuap. Air mata terus mengalir di pipi-pipinya. Gadis
itu mengabaikan komentar Alex. Hal itu membuat Alex curiga.
“Jangan makan sambil terus-terusan
buang ingus, ah. Jorok banget lo!” tegur Alex lagi. “Pantesan lo belum punya
pacar juga.”
Kali itu Rora tertawa kaku.
“Iya. Pantas aja nggak ada cowok yang
naksir gue.”
Alex merasa Rora sedang menertawakan
diri sendiri. Hal itu sama sekali bukan gaya Rora. Ada yang salah dengan anak ini, pikir Alex.
Sudah lama mereka tidak menginjakkan
kaki ke tempat itu sejak mereka lulus kuliah. Yap! Kampus mereka. Kali itu Alex
mengajak Rora kembali kesana selepas acara makan bakso yang menjijikkan itu.
Kampus mereka adalah kampur terkenal
di bilangan Depok. Tidak hanya terkenal karena mahasiswanya konon kabarnya
adalah mahasiswa-mahasiswa paling pintar di Indonesia, tapi juga terkenal
karena luas kampusnya yang tidak masuk akal. Alex sendiri belum menemukan
kampus lain di Indonesia yang memerlukan kendaraan untuk mengelilingi seluruh
fakultasnya. Saat masih menjadi mahasiswa, Alex pernah mengelilingi kampus
dengan jogging. Dia melakukannya
selama seminggu, dan berat badannya naik 2 kg. Mengapa? Karena luas kampusnya
yang tidak masuk akal, Alex terus-terusan merasa perlu bersitirahat selama jogging. Dan tiap bersitirahat, dia
menemukan tukang penjual makanan. Maka ia makan demi mengembalikan
vitalitasnya. Tidak heran kalau berat badannya justru meningkat.
Bagaimana kampusnya bisa seluas itu?
Ada banyak danau di kampus itu. Dan salah satunya adalah tujuan Alex membawa
Rora kali itu. Pada akhir pekan, danau-danau di kampus itu memang banyak
dikunjungi orang-orang, bukan hanya mahasiswa universitas itu. Beberapa
keluarga bahkan menggelar tikar di pinggir danau. Tapi lebih banyak lagi
pasangan kekasih.
Rora tertawa setibanya di pinggir
danau. Sudah lama dia tidak melihat danau ini. “Apa lo ngajak gue ke sini buat
pacaran?”
Alex menggendikkan bahu dengan cuek. “Udah
lama kita nggak pacaran disini.”
Rora berlari bersemangat ke arah
danau. Alex memerhatikannya sambil berjalan perlahan mendekat. Gadis itu
merentangkan tangan seperti anak kecil yang kesenangan diajak orangtuanya
berwisata kesana.
“Kenapa lo tiba-tiba ngajak gue
kesini?” tanya Rora, menoleh. Rambut ikalnya berkibar indah saat kepalanya
berpaling. Membuat Alex terkesima sesaat.
Alex kemudian duduk di hamparan
rumput, tidak jauh dari tempat Rora berdiri. “Gue pikir, daripada lo
nangis-beringus di atas mangkok bakso, mending lo nangis disini.”
“Eh?”
“Gue tahu lo lagi patah hati lagi.”
Wajah Rora berubah. “Emang ketahuan
jelas ya?”
“Elu kan kalo lagi pengen nangis pasti
ngajak ke bioskop nonton drama sedih, atau makan bakso setan tadi. Yang gue
nggak ngerti, itu bakso setan cuma level satu tapi lo nangisnya ngalahin gue
yang level sepuluh.”
Gadis itu nyengir miris. Dia
menghampiri Alex dan duduk membelakanginya. Punggung bertemu punggung.
“Lo benar,” kata Rora kemudian.
“Gue selalu benar,” balas Alex.
Biasanya dia mengatakan hal itu dengan nada bangga. Tapi kali itu dia tidak
bangga bahwa terkaannya benar. “I’ve told
you. He’s a gay.”
Rora hanya diam. Tapi kemudian
beberapa saat kemudian Alex merasa punggungnya bergerak naik-turun. Rora
gemetar, menangis tanpa suara.
“Lain kali jangan buru-buru jatuh
cinta setengah mati kalo lo belum yakin dengan orang yang jatuhi cinta.”
Ini bukan pertama kalinya Rora
menangisi lelaki. Bukan pertama kalinya pula Alex meminjamkan punggungnya untuk
Rora bersandar. Pernah ada Doni yang menghianatinya. Ada Indra yang
menjadikannya selingkuhan. Sebelum ini ada Mike yang menggantungkannya nyaris
selama 3 tahun. Dan yang terakhir ini adalah lelaki baik-baik berusia 10 tahun
lebih tua ini, yang kebetulan juga adalah bos Rora. Rora mengira bahwa
pencariannya akhirnya menemukan jawabannya. Tapi dia lupa satu pepatah: Kalau
ada lelaki baik-kaya-tampan-pintar yang masih single di atas usia 30 tahun, kau
patut curiga dia unavailable.
Alex sudah memperingatkan Rora kali
ini. Sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki pujaan Rora itu, Alex sudah
menyadari bahwa lelaki ini berbeda
dengan ketiga lelaki yang pernah dekat dengan Rora.
“Gue selalu suka bersandar di punggung
lo. Apa gue pernah bilang itu?” kata Rora saat tangisnya reda. Tubuhnya lebih
pendek daripada Alex sehingga ketika mereka duduk saling memunggungi, kepalanya
tepat berada di balik bahu Alex. Ia selalu merasa nyaman meletakkan kepalanya
di bahu itu.
“Sampai bosan gue mendengarnya,” Alex
mendengus. Tapi ia menyimpan senyum gelinya.
Rora mendesah. “Rasanya gue takut
jatuh cinta lagi.”
“Jangan takut,” jawab Alex tenang.
“Gue takut nggak bisa bangun lagi kalo
jatuh sekali lagi.”
“Ada gue.”
“Apa?”
“Kalau lo belum siap bangun, ada punggung
gue yang menemani lo duduk.”
“Lex ...”
“Kalau lo udah siap berdiri, ada
tangan gue yang membantu.”
Rora terdiam.
“Kalau lo udah siap berlari, ada kaki
gue yang berlari bersama lo.”
Rora menengadah menatap langit.
Kepalanya masih bersandar di bahu Alex. Dia mendesah. “Harusnya gue emang
pacaran sama lo aja.”
Kali ini Alex tidak bisa menahan diri
untuk tidak tertawa, meski ia masih dapat mengontrol suaranya, mengingat mereka
bukan satu-satunya yang berada di tepi danau itu.
“Baru sadar sekarang?” kata Alex menyindir.
“Bodoh ya gue? Kalau gitu, sekarang kita
pacaran?”
Alex tertawa. Punggungnya bergoncang.
Rora membalasnya dengan tawa yang sama.
*
* *
Ada yang bilang you never know what you have until you lose it. Sebenarnya tidak
tepat begitu. We always know what we
have. We just never think that we would lose it.
Rora sadar bahwa Alex selalu
bersamanya. Tapi dia tidak pernah sadar bahwa dia bisa saja kehilangan Alex.
Alex bukan miliknya.
“Gue sudah menemukannya, Ra. Orang
yang gue ingin menghabiskan hidup dengannya selamanya,” kata Alex hari itu.
Rora terpaku. “Serius?”
Serius?
Selama ini Alex tidak pernah menunjukkan dia bisa jatuh cinta kepada orang
lain.
“Serius. Belum pernah gue seyakin ini.”
Alex menjawab dengan mantap.
Rora tertegun. Akhirnya hari ini tiba
juga.
“Kenapa bengong?” Alex menjentikkan
jarinya di depan wajah Rora yang termangu. Rora hanya tersenyum.
“Lo patah hati ya?” Alex mengejek.
“Iya,” jawab Rora singkat.
Alex tertawa. Gadis ini pintar beracting.
Tapi Rora tidak balas tertawa. Ia
masih terus memandang Alex. Lama-lama Alex risih dan berhenti tertawa.
“Hei Rora! Ekspresi lo bikin gue
takut.”
“Kenapa?”
“Orang bisa mikir bahwa lo cinta
beneran sama gue dan patah hati beneran.”
“Memang kelihatan seperti bohongan?”
“Stop
it, Ra,” Alex tertawa sambil menggebahkan tangannya.
“Memangnya ada pacar yang nggak patah
hati kalau pacarnya mau kawin sama orang lain?”
“Come
on! Stop playing around, Ra!
Jangan bikin gue takut,” kata Alex, “Kita selama ini bersahabat. Kakak-adik.
Nggak mungkin lo punya ekspektasi lebih kan?”
Rora memberi pandangan yang membuat
Alex takut. Tapi beberapa detik kemudian gadis itu tertawa.
Ia bangkit dari duduknya dan memukul
pelan lengan Alex dengan sebuah kertas berwarna merah di tangannya.
“Serem banget muka lo. That’s why I enjoy playing with your mind,”
kata Rora sambil melangkah pergi. “Mau minum apa? Gue ambilin.”
Terpaku sesaat, namun kemudian Alex
tertawa ketika menyadari bahwa Rora sedang menakut-nakutinya.
“Apa aja,” jawab Alex.
Rora beranjak ke dapurnya. Sebelum
membuatkan minum untuk Alex, ia membaca sekali lagi kertas berwarna merah di
tangannya. Undangan pernikahan.
Alex dan Denise.
Dan sebuah foto disana. Keduanya
berkulit putih, berambut lurus dan bermata kecil.
Rora tertawa miris.
Kakak-adik?
Cih!
*
* *
Diantara milyaran manusia di muka
bumi, pasti ada orang yang hatimu terkait dengannya sejak awal. Kadang adalah
orang yang memiliki banyak kesamaan denganmu. Kadang justru orang yang sangat
berbeda denganmu. Kadang justru dengan demikian kalian seperti potongan puzzle
yang bentuknya berkebalikan tapi justru sangat “pas” saat berpasangan.
Rora dan Alex memiliki banyak
perbedaan: sifat, gaya, hobi, warna kulit, ras, dan bahkan agama. Mereka hanya
memiliki satu kesamaan.
“Gue nggak pernah sadar lo secantik
ini,” Rora melangkah memasuki ruang rias pengantin dan mendapati seorang wanita
dalam gaun putih gading berdiri lima meter di hadapannya. Wanita itu berkulit
putih dan bermata kecil. “Alexandra!”
“Hai Rora!”
Mereka hanya memiliki satu kesamaan.
Jenis kelamin.