Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 20 November 2016

BORING

Beberapa pekan lalu teman seruangan saya yang berasal dari Negeri Tirai Bambu mudik ke kampung halamannya dan meninggalkan saya berdua dengan sahabat saya yang berasal dari Negeri Gajah (bukan Lampung #halah). Alhasil kami nyaris kemana-mana berdua saja. Di lab berdua, di ruangan berdua, makan siang berdua, makan malam berdua (soalnya ngelab sampai malam), pergi wisata berdua, sampai nonton iklan dari negaranya (yang terkenal melodramatis dan lebih mirip short drama daripada iklan) berdua. Sejak saat itu, sahabat saya ini suka sekali memanggil saya dengan panggilan khusus.
Semua berawal ketika suatu hari dia melihat saya sudah berada di ruangan kami ketika dia datang. Menurut saya, dia adalah salah satu mahasiswa yang paling rajin di departemen kami. Dibanding teman-teman lain, dia biasa datang ke kampus paling pagi. Itu mengapa dia heran ketika saya sudah berada di ruangan ketika dia masuk ke ruangan kami.

“Ada kabar bahwa saya akan dapat sampel paru-paru dari pasien fibrosis,” kata saya menjelaskan, “Belum tahu kapan sampelnya datang, tapi saya harus siap sewaktu-waktu untuk mengambil sampel. Makanya saya datang lebih pagi.”
Lalu dia menawarkan membantu eksperimen saya. Saya menolak dan mengatakan bahwa saya bisa mengerjakannya sendiri sehingga dia tidak perlu khawatir.
“Apa Adhy akan membantu kamu?” dia bertanya tentang sahabat sekaligus partner in crime saya di lab. Saya dan mas Adhy ini dibimbing oleh pembimbing yang sama sehingga kami sering sekali berkolaborasi dalam eksperimen.
“Nanti Adhy akan mengisolasi fibroblast dari sampel itu,” kata saya.
“Jadi siapa yang bantu kamu slicing?”
Bagi yang belum tahu, eksperimen saya disini melibatkan proses pengujian efek obat secara ex vivo dengan menginkubasi irisan tipis (slice) paru-paru mencit dan manusia dengan sejumlah kandidat obat.
Atas pertanyaan sahabat saya itu, saya menjawab bahwa saya bisa mengerjakannya sendiri. Tapi ketika akhirnya sample itu datang, dia tahu-tahu sudah mengikuti saya ke lab, dan membantu saya. Padahal saat itu sudah waktunya pulang sekolah. Saya sempat mencegahnya membantu saya lebih jauh, tapi dia berkeras. Dengan wajah galak dan serius, dia menyuruh saya untuk melanjutkan pekerjaan saya ketimbang sibuk melarangnya membantu.
“Jangan ngomong melulu! Cepat kerja!” katanya galak.
Dengan bantuannya, saya yang biasa menyelesaikan pekerjaan ini dalam 4 jam, saat itu saya selesai hanya dalam 2 jam. Menghemat waktu dua kali lipat sehingga saya tidak harus pulang terlalu malam. Tapi malam itu juga dia memarahi saya. Dia benci pada sifat saya yang tidak pernah mau minta tolong, dan tidak pernah mau ditolong, padahal jelas-jelas saya memerlukan bantuan untuk menyelesaikan eksperimen tersebut dengan lebih cepat.
“Kenapa tadi melarang saya membantu?” dia bertanya.
“Kan nggak enak kalau merepotkan. Kamu jadi pulang lebih malam karena membantu saya. Saya kan jadi merasa bersalah.”
“Kalau saya ada sampel liver manusia dan kamu membantu saya, apa kamu bermaksud membuat saya merasa bersalah?”
“Nggak lah. Kenapa kamu harus merasa bersalah?”
“Nah! Kenapa kamu harus merasa bersalah?” dia membalikkan kata-kata saya.
Dia bilang, sesama rekan se-lab harus saling membantu. Tidak perlu merasa bersalah untuk minta tolong.
Saya mengangguk pasrah mendengar ceramahnya. Memangnya saya bisa apa lagi selain mengangguk pasrah. Tapi sepertinya dia tahu bahwa meski mengangguk, saya tidak mempedulikan nasehatnya, dan pasti akan tetap diam saja jika lain kali saya membutuhkan pertolongan.

Selain prinsip bahwa “tidak boleh datang ke suatu acara bahagia jika tidak diundang”, dan “usahakan datang ke acara sedih untuk memberi dukungan, meski tidak diundang”, saya juga memegang prinsip untuk tidak meminta bantuan orang lain jika saya masih bisa mengerjakannya sendiri. Maka jika saya sampai meminta bantuan kepada seseorang, itu karena dua alasan: pertama, karena memang tidak ada cara lain selain meminta bantuan orang lain, dan kedua, karena saya sudah merasa dekat dengan orang tersebut, sehingga (meski saya tetap merasa bersalah telah merepotkan, tapi) saya tidak lagi malu meminta bantuan kepadanya (kasihan banget ya orang yang saya anggap dekat ini, selalu saya minta bantuannya terus). Sikap seperti ini sepertinya didukung oleh pembawaan saya yang introvert, sehingga (meski bisa bekerja bersama, tapi) lebih suka bekerja sendiri.
Prinsip seperti inilah yang membuat saya tidak bisa menjadi seorang pemimpin. Alih-alih berusaha menyelesaikan semua masalah sendirian, peorang pemimpin yang baik haruslah pandai mendelegasikan tugas-tugasnya kepada semua pihak sehingga tujuan bersama dapat tercapai.

Sebenarnya, bukan hanya rasa sungkan dan rasa bersalah yang saya rasakan ketika saya harus meminta tolong orang lain, atau menerima bantuan dari orang lain. Tapi juga perasaan berhutang budi. Saya tidak suka memiliki perasaan berhutang budi. Oleh karena itu, saya selalu berusaha mengerjakan semuanya sendiri (kecuali memang sangat terpaksa harus meminta tolong orang lain), supaya saya tidak memiliki kewajiban membalas budi.
Pernah baca salah satu note saya tentang perasaan nggak enak? Bahwa (bahkan melebihi kadar rasa nggak enak orang Indonesia normalnya) saya memiliki kadar rasa nggak enak yang abnormal. Jangankan kepada orang yang sudah membantu saya sehingga membuat saya merasa berhutang budi, bahkan kepada orang yang hubungannya dengan saya biasa sekalipun saya kesulitan menolak/ berkata tidak atas permintaan mereka. Bayangkan bagaimana jika orang yang telah membantu saya ini (dan membuat saya merasa berhutang budi ini) yang meminta tolong, maka sudah bisa dipastikan saya tidak bisa menolak permintaannya. Bayangkan lagi jika permintaan yang diajukan orang tersebut bertentangan dengan pendapat saya, bagaimana sakitnya saya harus menolak permintaan orang tersebut. Itu mengapa saya tidak suka berhutang budi pada orang. Saya takut rasa hutang budi saya ini akan dimanfaatkan orang untuk membalas budi kepadanya.
“Jadi saat kamu menolong eksperimen saya, apa kamu bermaksud supaya saya membalas budi dan menolong eksperimen kamu?” kata sahabat saya yang asal negeri gajah putih itu.
“Nggak lah. Kok kamu mikirnya gitu?”
“Atau kamu menganggap kalau saya menolong eksperimen kamu itu supaya lain kali kamu membalas budi dengan menolong eskperimen saya?”
“Nggak kok.”
Sahabat saya itu bilang, pasti ada yang salah dengan saya. Entah dengan otak saya. Atau dengan jiwa saya. Mungkin dia cuma mau bilang bahwa saya sakit jiwa.

Mungkin benar, saya sakit jiwa. Saya terlalu berprasangka buruk pada orang. Hanya karena beberapa kali saya menyaksikan seseorang berbuat baik lalu berharap dibalas, atau seseorang yang menolong lalu berharap diistimewakan, atau orang yang mendekat hanya untuk memanfaatkan, lalu saya berprasangka bahwa semua orang berbuat baik supaya kebaikannya diingat dan dibalas oleh orang yang ditolongnya. Meski kadang terjadi ada orang yang menyumbang lalu berharap diistimewakan dan tidak dikenai hukuman jika bersalah, tapi bukan berarti semua orang seperti itu. Meski ada orang yang mempedulikan rakyat kecil hanya supaya dipilih oleh rakyat kecil tersebut, tapi bukan berarti semua orang yang peduli rakyat kecil pasti ada maunya.
Mungkin saya harus belajar mempercayai orang lain. Bahwa tetap ada orang yang tidak memanfaatkan kebaikannya untuk kepentingannya di masa mendatang. Meski kita semua tahu bahwa kebaikan adalah investasi yang paling pasti kembali kepada diri kita sendiri, tapi selalu ada orang baik yang tidak memanfaatkan kebaikan yang dilakukannya sebagai investasi, dan percaya bahwa jika tidak ada orang yang membalas kebaikan mereka, maka Tuhan akan membalasnya.
Sahabat saya bilang, saya harus belajar mempercayai orang lain. Dan belajar menerima kebaikan orang lain.

Sejak saat itu, selain hobi barunya memanggil saya dengan panggilan sayang, sahabat saya itu secara otomatis akan memaksa untuk membantu eksperimen saya tiap kali saya mendapat sampel paru-paru manusia.
“Nggak perlu merasa berhutang budi! Kamu cuma berhutang seribu euro ke saya,” katanya sambil tertawa, setiap kali. “Boring woman.” Tidak lupa dia selalu menambahkan panggilan itu di setiap akhir kalimatnya.



Groningen, 23 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar