Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 20 November 2016

Menghapus Jejak

Saya mulai suka menulis cerpen sejak komputer belum lazim dimiliki setiap rumah tangga, dan saat mengetik masih menggunakan program WS, kalkulasi masih menggunakan program Lotus, dan media penyimpanan data masih berupa disket segede ubin (trus kebayang betapa tuanya saya).
Di masa itu saya menulis cerpen di buku tulis atau lembaran kertas, manual, tak diketik, dengan menggunakan pulpen. Saya menulis dimanapun dan kapanpun, bahkan saat guru farmakologi menjelaskan mekanisme obat2 antihipertensi (pantesan gw bego). Biasanya saya mengandalkan teman saya untuk mencatatkan pelajaran untuk saya. "Nanti gue pinjem catetan lo ya. Kalo cerpen gue udah jadi, nanti lo jadi pembaca pertama deh". Hihihi. Bukan jenis kelakuan yg pantas dibanggakan juga sebenernya.
Di masa itu, karena ditulis tangan, jika ada kesalahan pada cerpen yg saya tulis maka saya menghapusnya dengan tip-ex. Sejak Ibu membelikan saya komputer, saya beralih menggunakan komputer untuk menulis cerpen (bukannya buat tugas kuliah haha). Sejak itu pula kegiatan tulis-menulis manual saya hanya sebatas menulis catatan kuliah dan mengerjakan soal ujian. Sejak itu saya tidak lagi menggunakan tip-ex. Bukan karena saya pelit atau tidak mampu beli tip-ex, tp karena saya merasa mencoret tulisan yg salah membutuhkan waktu lebih singkat dibanding dgn menghapus tulisan dg tip-ex lalu menunggunya kering sebelum bisa kita tulisi lagi.
Belakangan, menjelang akhir masa studi saya, saya baru menyadari bahwa "mencoret" adalah metode yg tepat untuk memperbaiki kesalahan penulisan, alih2 menghapusnya.
Saat bekerja di industri farmasi dan melanjutkan penelitian di lab, metode "mencoret" ini termasuk dalam bahasan "Dokumentasi" di GMP (Good Manufacturing Practice) dan GLP (Good Laboratory Practice).

Belakangan ini saya sering mengomentari adik2 di kampus karena kebiasaan mereka menggunakan tip-ex. Selain karena metode "meminjam tip-ex" masih eksis digunakan smp sekarang sbg metode nyontek meski telah jadul, juga karena tindakan "menghapus" tidak sesuai dengan GMP dan GLP. Dan jika tidak dibiasakan sejak sekarang untuk mencoret alih2 menghapus, maka metode ini akan sulit diterapkan saat mereka membutuhkannya nanti saat menulis logbook penelitian skripsi dan saat mereka hrs menerapkan prinsip dokumentasi jika bekerja di industri farmasi.
Karena itulah saya selalu ngomel kalau ada murid yg menulis jurnal praktikum dengan pensil (krn bisa dihapus tanpa berbekas) atau menghapus tulisan pulpen dengan tip-ex. Kenapa? Karena dg menghapus data/tulisan, ada risiko pengubahan/ manipulasi data.

Berikut protes mahasiswa kl saya larang pakai pensil atau tip-ex:
1. "Kan jurnalnya jadi kotor, kak, kalau byk coretan" --> makanya mikir dulu baru nulis.
2. "Kita ga manipulasi data kok, kak. Kan ini cuma salah nulis aja" --> siapa yg bisa memastikan bhw kita memanipulasi data atau tidak, jika tdk ada buktinya?

Mengikuti kata Pak Marno (salah satu penyusun buku CPOB - pedoman Cara Pembuatan Obat yg Baik) #tsaahhhh : tulis yg kita lakukan, lakukan yg tertulis, dan hanya percaya pd bukti tertulis.
Masuk akal sih, itu mengapa kalau jual-beli harus ada bukti tertulisnya, otherwise kita dianggap memperoleh barang tsb dg nyolong, atau kl ada kerusakan barang maka kita tidak bisa menuntut tanggung jawab penjual kl tdk ada bukti jual-belinya.
Nah, apa yg terjadi kl bukti tertulis bs dihapus? Atau diubah? Atau dimanipulasi?
Tapi murid (dan teknologi), terkadang lbh maju drpd gurunya (terutama saya).
Gara2 saya selalu protes kl ada yg menulis jurnal praktikum atau menjawab ujian dg pensil atau mgunakan tip-ex, murid saya menggunakan alat lain: pulpen yg tintanya bs dihapus (selayaknya pensil). Ada juga yg menutupi tulisan salah dg stiker (dg nama dagang tom n jerry), alih2 tip-ex. Murid jaman skrg emang pinter ngeles ya.
Meski begitu, beruntung saya dulu mayan preman dan bergaul dg cowok2, shg cepat tanggap dg "trik2 nakal" para murid.

Jadi sekarang setiap kali responsi praktikum atau mengawas ujian, saya selalu berpesan "Jangan menulis dengan pensil atau hapus-able pulpen. Dan jgn mgunakan tip-ex atau stiker tom n jerry. Kalau salah menulis, coret saja tulisan yg salah dgn 1 atau 2 garis, lalu tulis yg benar. Tulisan yg salah jangan dicoret berulang-ulang sampai tak terbaca lagi"
Sedemikian lengkapnya instruksi saya, shg semoga tdk ada trik lain yg bs digunakan murid untuk menghapus jejak tulisan mereka.
Nampaknya kebijakan ini tdk tll populer di kalangan guru2 lain. Tidak byk guru yg melarang muridnya menghapus tulisannya yg salah. Shg ketika saya membuat kebijakan ini di kelas saya, pernah ada yg tanya "Kak, dosen2 lain nggak melarang. Knpa kakak melarang?"
Mahasiswa, memang generasi yg plg aktif, kritis dan secara natural pemberontak dan petualang. Pertanyaan spt ini tentunya sdh dpt diduga.
Salah satu jawaban andalan saya adalah "Kenapa kesalahan harus dihapus? Seperti masa lalu, kesalahan tdk bs dihapus sempurna. Kesalahan hanya harus diperbaiki"
Trus murid2 malah galau #tsaaahhh
Mungkin mereka yg masih muda (#padahalGueJugaMasihMuda), belum terbiasa menerima kesalahan masa lalu. Mungkin juga karena mereka belum melakukan banyak kesalahan. Sehingga setiap kali mereka melakukan kesalahan, mereka sll ingin mengapusnya.
Nanti ketika mereka makin dewasa, dan melakukan makin banyak kesalahan, mereka akan perlahan belajar bahwa masa lalu dan kesalahan yg telah terlanjur kita lakukan, tidak bisa kita hapus. Yg bisa kita lakukan dg masa lalu dan kesalahan adalah mencoretnya (mengakui kesalahan) lalu memperbaikinya.

Kenapa kita perlu menghapus jejak?
Bukankah jejak adalah bukti perjalanan manusia di bumi? Hanya yg tidak hidup yg tidak meninggalkan jejak.

Jadi, apa kita hidup?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar