Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 20 November 2016

NGGAK ENAK

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan teman yang berkunjung ke Belanda untuk urusan pekerjaan. Hari pertama tiba, dia sudah bertanya dimana bisa membeli oleh-oleh. Dia juga cerita bahwa kopernya hanya berisi seperempat bagian. Tiga perempat bagian dari kopernya kosong, dan sengaja disiapkan untuk oleh-oleh. Mendengar itu, saya merasa ada yang salah. Pertama, urusan oleh-oleh ternyata lebih penting daripada urusan pekerjaan. Kedua, oleh-oleh untuk oranglain ternyata lebih penting 3 kali lipat dibanding keperluan pribadi.
Kejadian serupa terjadi pada orang-orang yang menunaikan ibadah umroh atau haji. Banyak yang khusyuk beribadah. Tapi tidak sedikit juga yang khusyuk mencari oleh-oleh untuk kerabat dan teman. Lagi-lagi, saat berangkat umroh/ haji, mereka sengaja membawa koper yang jauh lebih besar daripada yang dibutuhkannya karena harus menyiapkan tempat untuk oleh-oleh.

Apa yang salah disini?
Ketika sekolah di Belanda, salah satu perbedaan yang saya perhatikan pada perbincangan setelah liburan adalah ... kalau orang Belanda akan bertanya "Eh kemarin ke XXX ya? Gimana disana? Ngapain aja?", tapi kalau orang Indonesia pasti nanya "Eh kemarin ke XXX ya? Mana oleh-olehnya?"
Ini obrolan ringan sebenarnya. Dulu saya juga suka menggunakan kalimat ini, bukan karena saya benar-benar ingin minta oleh-oleh dari teman yang berpergian, tapi hanya untuk memulai percakapan. Kadang juga hanya untuk menggoda. Tapi belakangan saya menyadari bahwa ada banyak teknik basa-basi atau teknik memulai percakapan yang lebih baik.
Sama halnya dengan pertanyaan "kapan nikah?", meski ditanyakan hanya untuk basa-basi membuka percakapan, atau karena memang kita peduli, tetap saja memberi beban kepada yang ditanya (berat/ringannya beban tentu tergantung objek penderita, apakah tipe jojoba atau tipe jones). Begitu pula dengan pertanyaan "mana oleh-olehnya?", meski ditanyakan hanya untuk menggoda, tetap saja memberi beban di hati yang ditanya.
Mungkin juga karena budaya "nggak-enakan" di masyarakat Indonesia, meski orang-orang terdekat tidak meminta oleh-oleh, tetap saja orang yang berpergian akan selalu mengalokasikan dana dan waktunya (dan tempat di kopernya) untuk oleh-oleh. Mengapa? "Karena nanti kalau nggak ngasih oleh-oleh, dianggap nggak sopan". Jadi kalau bagi orang Eropa, biaya berlibur mencakup transportasi, akomodasi, konsumsi dan hiburan .... tapi bagi orang Indonesia biaya berlibur juga mencakup biaya oleh-oleh.

Sifat "nggak enakan" orang Indonesia ini ternyata berimplikasi luas (#tsaahhh bahasa gue), termasuk "nggak enak kalau nggak nraktir temen pas ulang tahun" atau "nggak enak kalau nggak ngundang kawinan"
Dulu saat masih muda (iye, sekarang semua anak2 nggak ada lagi yang manggil gue "kakak", semua manggil gue "tante", jadi gue harus mengakui bahwa gue udah tua), selepas lulus sekolah, kami berencana untuk terus berkumpul sesekali untuk reuni, supaya silaturahmi terus terjalin. Supaya sekalian, kami memutuskan untuk reuni di setiap tanggal ulang tahun salah seorang diantara kami. Ide awal yang baik, tapi kemudian berubah menjadi menakutkan bagi yang ulang tahun karena khawatir akan diminta mentraktir. Kata-kata "traktir dong, kan ulang tahun" memang terdengar biasa dan hanya seperti menggoda. Tapi saya pernah berada dalam kondisi keuangan yang memprihatinkan karena harus fotokopi buku-buku/diktat farmasi yang tebalnya bisa bikin pencopet di KRL mati kalau dipukul pakai buku itu. Akhirnya, alih-alih menjadi hari yang membahagiakan, hari ulang tahun malah berubah menjadi menakutkan. Bahkan meski tidak ada teman yang meminta ditraktir, orang yang ulang tahun tetap merasa tidak enak kalau tidak mentraktir sementara teman-teman yang lain selalu mentraktir saat mereka ulang tahun.

Lain cerita tentang traktiran ulang tahun, lain lagi cerita tentang undangan kawinan. Seorang teman sudah mengadakan acara syukuran pernikahan di daerah kelahiran istrinya, tapi saat ia kembali ke kota tempatnya bekerja (sambil membawa istri yang baru dinikahinya), beberapa rekan kerja dan teman main futsalnya bertanya "kapan ngadain syukuran disini? Sekalian ngenalin istrinya ke kita-kita" Wow! Padahal biaya syukuran pernikahan di kota kelahiran istrinya saja tidak sedikit. Tapi karena merasa nggak enak dengan teman-temannya, ia kembali mengadakan acara makan-makan dengan teman-temannya, meski keuangannya setelah menikah juga belum stabil (pernah dengar kan kalau ada pasangan yang menikah dengan biaya pinjaman, sehingga setelah menikah mereka harus mencicil hutang biaya resepsi?)

Ada lagi teman lain yang bercerita tentang pernikahannya yang dilaksanakan dengan persiapan singkat karena suaminya harus berangkat sekolah ke luar negeri. Akibat persiapan yang singkat tersebut, ia terlewat mengundang beberapa orang. Dan ini menyebabkan pertanyaan beberapa orang. "Ya ampun, kok aku nggak diundang? Lupa ya sama aku?"
Pertanyaan semacam ini, meski ditanyakan dengan nada bercanda, dan tidak bermaksud memojokkan, tetap saja menimbulkan rasa bersalah pada orang yang ditanya tersebut.

Saya sendiri mengalami kejadian serupa. Salah satu teman kuliah dulu, yang masih terus berkomunikasi dengan saya (meski mungkin hnya 1 atau 2 bulan sekali) tidak mengundang saya ke acara pernikahnnya. Saya tidak tahu bahwa dia sudah menikah, sampai saya melihat foto bulan madunya.
Adalah wajar jika kita merasa kecewa jika tidak diundang oleh orang yang dekat dengan kita ke acara bahagianya. Beberapa pakan yang lalu bahkan saya sempat merasa kecewa kepada seorang teman karena tidak diajak berlibur padahal biasanya dia mengajak saya. Dengan piciknya, saya sempat berpikir "Dia kalau lagi butuh ditemani, mengajak saya jalan-jalan. Tapi kalau jalan-jalan dengan banyak teman, saya dilupakan". Serius, meski sudah sebesar ini, saya kadang bisa sangat bodoh dan berhati sempit. Tapi kemudian saya sadar, ada banyak alasan (yang kadang tidak sederhana), mengapa orang yang dekat dengan kita tidak mengajak/ mengundang kita ke acara bahagianya.

Maka sekarang, saya tidak pernah lagi bertanya mengapa saya tidak diundang. Saya juga tidak pernah lagi merasa sebal jika "dilupakan" dan tidak diajak oleh teman. Ada banyak alasan mengapa seorang teman tidak mengundang/ mengajak kita ke acara bahagianya: karena waktu persiapan yang mendesak, karena biaya yang terbatas, atau karena alasan lain. Apapun alasannya, ingatlah bahwa jika seseorang menganggap kita sebagai teman baiknya, maka ia akan selalu mengabarkan kabar gembira kepada kita. Maka jika orang tersebut tidak mengajak/mengundang kita, pasti ada alasan kuat dan mendesak. Dan jika kita memang merasa bahwa kita adalah teman baiknya, bukankah seharusnya kita memahami alasan tersebut? Jika kita dengan mudahnya merasa tersinggung dan tidak bisa memahami teman kita sendiri, mungkin kita memang bukan teman yang baik.

Mungkin begitu juga dengan oleh-oleh, atau hal lainnya. Jika seseorang menganggap kita sebagai teman baiknya, maka ia akan selalu mengingat kita, dan berusaha memberikan hal baik untuk kita, bahkan tanpa kita minta. Maka jika ia tidak memberikan hal yang kita harapkan (entah itu traktiran atau oleh-oleh, misalnya), maka ada dua alasan: dia tidak menganggap kita sebagai teman baiknya, atau dia dalam keadaan terdesak (mungkin keterbatasan finansial, waktu atau tempat). Di sisi lain, jika kita menganggap diri kita sebagai teman baiknya, tidak seharusnya kita berprasangka buruk kepada teman kita sendiri kan?


Groningen, 31 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar