Luna Lovegood inside. Noda Megumi outside.

Minggu, 20 November 2016

SEBUTAN

Curhatan teman baru-baru ini mengingatkan saya pada note yang saya tulis tepat 2 tahun yang lalu. Hanya karena saya mengatakan bahwa pekerjaan saya adalah seorang guru, seorang teman lama saya (yang ganteng #catet) memandang saya dengan tatapan meremehkan. Beberapa menit kemudian ketika dia tahu bahwa saya adalah guru di universitas (atau disebut dosen), dia baru menanyakan nomer ponsel saya. Ternyata pekerjaan yang sama, kalau disebutkan dengan sebutan yang berbeda, akan memberikan persepsi dan efek yang berbeda.
Kasus ini serupa dengan pengalaman saya yang lain. Mungkin karena banyak orang yang masih menduga saya adalah mahasiswa S1 (#laludigorokmassal), semua murid saya memanggil saya dengan “Kak” atau “Mbak”. Saya merasa baik-baik saja dengan panggilan tersebut (#malahseneng). Tapi beberapa orang mengatakan bahwa sebaiknya saya membiasakan mereka memanggil saya “Ibu”, karena panggilan “Kak” dinilai kurang menghormati. Saat itu saya lagi-lagi disadarkan bahwa panggilan bisa berarti sangat penting di masyarakat dengan adat ketimuran seperti kita.
Padahal nih, berdasarkan penelitian saya di lapangan (#lapanganbasket), panggilan terhadap dosen tidak selalu berkorelasi dengan rasa hormat mahasiswa. Bisa saja mereka memanggil “Bapak” atau “Ibu” untuk menunjukkan rasa hormat di depan, namun memanggil dengan Bapak-Kucing-Garong atau Ibu-Ulet-Keket di belakang. Hei! Saya kan sering bergaul sama mahasiswa. Jadi saya bukannya nggak tahu bahwa mahasiswa yang sikapnya hormat di hadapan dosen bisa juga memberikan julukan lain di belakang. Bahkan saya aja tahu bahwa banyak mahasiswa yang juga suka membicarakan saya di belakang (terutama saat saya putus sama Min Ho Oppa). Jadi intinya, panggilan bukanlah satu-satunya parameter rasa hormat, meski memang benar bahwa panggilan adalah salah satu parameter.
Dari pengamatan saya, sebenarnya sopan/tidaknya panggilan terkait dengan kultur dimana kita tinggal dan bergaul. Misal kalau kita gaulnya sama anak-anak yang suka nongkrong (padahal nongkrong kan capek, mendingan duduk #malahdibahas), maka panggilan “Eh, Jabrik!” atau “Woy, Kutu!” justru menunjukkan keakraban, bukan ketidaksopanan. Atau missal saya manggil “Cumii!!!”, itu bukan berarti saya dengan memaki, tapi itu artinya panggilan sayang #halah. Atau ada orang-orang yang berpendapat panggilan “Eh, Nyet!” itu adalah tanda keakraban. Meski demikian, kita tentu tidak mengharapkan mendengar panggilan tersebut dalam forum formal kan? Dengan demikian, meski panggilan tidak selalu berkorelasi dengan rasa hormat, tentu bukan menjadi pembenaran untuk memanggil seseorang dengan panggilan sembarangan.
Contoh lain adalah penggunaan istilah “single” dan “jomblo”. Meski Dewan Kesepian Jakarta sudah menetapkan bahwa “single” karena pilihan dan “jomblo” itu karena nasib, tapi sebenarnya ini hanya tentang preferensi istilah. Saya pribadi lebih memilih istilah “available”, karena apalah artinya jomblo kalau hatinya udah taken (#malahcurhat), dan apalah arti single kalau nggak available (#ingetmantan), tetep aja nggak bisa diprospek kan? Hoho. Namun demikian, apapun istilahnya (entah itu jomblo, single atau available), faktanya adalah kamu selalu kemana-mana sendirian atau beramai-ramai, nggak pernah berduaan.
Contoh lain adalah setiap orang nanya “Nia malem mingguan kemana?”, selalu saya jawab “Wah, saya nggak pernah malem mingguan. Saya sabtu-malaman”. Karena katanya kosa kata “malam minggu” hanya ada di kamus orang-orang yang punya pacar atau suami/istri. Meski demikian, apapun istilahnya, faktanya hanya satu: waktu diantara jumat dan minggu. See? Jadi fakta yang sama, jika dilihat oleh orang yang berbeda dan dengan preferensi istilah yang berbeda, akan diidentifikasi sebagai hal yang berbeda. Pada tahap ini, harusnya kita sadar bahwa kalau kita mendengarkan terlalu banyak pendapat orang lain, kita akan pusing sendiri.
Curhatan seorang teman baru-baru ini membuat saya tergelitik. Dia tidak suka kalau hubungannya dengan teman dekatnya didefinisikan sebagai “pacaran”. Dia juga tidak suka kalau orang lain mengatakan bahwa mereka pacaran. Teman saya ini tiba-tiba mengingatkan saya pada seseorang yang saya kenal dekat, yang sangat mementingkan reputasi. Reputasi. Ternyata sebuah sebutan bisa berdampak buruk pada reputasi seseorang.
Teman saya ini lebih suka dengan istilah “calon istri” atau “calon suami” daripada istilah “pacaran”. Lagi-lagi, menurut saya, ini cuma soal sebutan/ istilah. Apapun sebutannya, kalau kamu belum nikah, belum tunangan, trus kemana-mana pergi dengan orang yang sama, padahal kalian nggak ngerjain penelitian yang sama dan kalian bukan sahabat, maka ya kamu harus siap kalau disebut “pacar” “TTM” dan istilah-istilah sejenis. Bahkan saya yang ngelab bareng sahabat saya aja bisa digosipin pacaran kok (sampai ada yang marah segala #yukmari), padahal kami jelas-jelas bersahabat. Ya apalagi teman saya ini dan teman dekatnya, yang kerja di lab berbeda tapi kemana-mana bareng terus, ya sangat wajar kalau orang-orang mengira mereka "pacaran". Jadi kalau nggak mau disebut dengan istilah “pacaran” ya jangan pergi kemana-mana berduaan. Gitu aja sih. Lagipula, apalah arti sebuah sebutan. Apapun sebutannya, kalau kita memang sudah merencanakan masa depan dengan orang tersebut, harusnya sebutan orang lain tidak terhadap hubungan kita tidak lagi menjadi terlalu penting.

Meski demikian, mungkin tidak banyak orang yang sependapat dengan saya, bahwa sebutan/panggilan/istilah/gelar tidaklah terlalu penting. Buktinya, saya masih banyak menerima undangan pernikahan yang memasang gelar akademik/ gelar keagamaan pada nama mempelai/ orangtua mempelai. Padahal itu kan undangan pernikahan, bukan surat lamaran kerja. Hal ini membuktikan bahwa bagi orang-orang Indonesia, gelar/sebutan/panggilan adalah suatu hal yang sangat penting. Namun demikian, sodara-sodara, fenomena ini nampaknya harus dimaklumi, mengingat begitu banyak alasan dibalik pilihan tersebut. Kadang meski salah satu pihak tidak ingin gelarnya ditulis, namun pihak yang lain ingin gelar tersebut ditulis, dengan alasan-alasan tertentu. Seperti kata mbak Icha (Maisya Farhati) dalam salah satu tulisannya, “it’s about marriage, not only about wedding”. Kalau kata teman lab saya dari Thailand yang sudah saya anggap abang sendiri, “Yang terpenting adalah apakah kita ingin menikah dengan dia atau nggak. Kalau kita memang ingin menghabiskan hidup bersamanya, maka harusnya urusan-urusan sepele harusnya bukan masalah sama sekali.”

Groningen, 2 Feb 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar